Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 07 Februari 2022

KLHK: Sawit Bukan Tanaman Hutan

Keputusan KLHK memupus upaya pengusaha sawit dan Fakultas Kehutanan IPB menjadikan sawit tanaman hutan. Ia tetap komoditas perkebunan.

Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur (Foto: R. Eko Tjahjono)

MELALUI rilis 7 Februari 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan sawit bukan tanaman hutan. KLHK mendasarkannya pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis.

'”Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” kata Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto di Jakarta.

Konstruksi Kayu

Agus menyitir Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.23/2021 sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan. Ia menambahkan bahwa hutan memiliki fungsi ekologis yang tak tergantikan, sementara perkebunan kelapa sawit memiliki ruang tumbuh sendiri. Sehingga “Belum menjadi pilihan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau untuk menjadi tanaman rehabilitasi”.

Pemerintah, kata Agus, saat ini lebih fokus menyelesaikan berbagai persoalan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, kata dia, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial.

Menyelesaikan ketelanjuran sawit di kawasan hutan, pemerintah akan memakai denda seperti diatur dalam UU Cipta Kerja. Lalu melanjutkannya dengan skema jangka benah, yakni menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.

Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi, pemerintah menetapkannya berupa pohon yang memproduksi hasil hutan bukan kayu, berkayu, dan tak boleh ditebang.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 8 dan 9/2021 berlaku larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur (12-15 tahun) karena lahannya harus diserahkan kembali kepada negara.

Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan produksi masih diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan sawit di hutan lindungi dan konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Pemerintah juga mengatur pemakaian skema jangka benah sesuai tata kelola perhutanan sosial. Penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.

Dengan regulasi seperti itu, kata Agus, sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah, sebuah konsep yang dirancang oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Dengan begitu, sawit tetap tergolong tanaman perkebunan.

Keputusan ini menggagalkan upaya Asosiasi Petani Perkebunan Kelapa Sawit yang berhasil mengajak Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University membuat naskah akademik untuk memasukkan sawit sebagai tanaman hutan.

Upaya lawas ini terus digencarkan. Pada 2014 pemerintah bahkan mengadopsinya melalui aturan namun dicabut segera. Jika sawit menjadi tanaman hutan, Indonesia akan mendapatkan limpahan luas hutan 16,6 juta hektare yang kini menjadi perkebunan.

Jika sawit jadi tanaman hutan, perkebunan sawit juga tak lagi dianggap pemicu deforestasi. Bahkan sawit di kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare tidak lagi ilegal. Pengumuman KLHK memupus upaya-upaya pengusaha sawit melepaskan diri dari citra buruk komoditas ini terhadap lingkungan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain