DALAM beberapa pekan terakhir, publik dihebohkan oleh kemunculan naskah akademik Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegradasi. Meski tanpa nama-nama penyusunnya, naskah akademik ini diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Tawaran konsep ini sudah dipatahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyatakan bahwa sawit bukan tanaman hutan karena melanggar aturan dan bukan tanaman rehabilitasi. Untuk menyelesaikan segala problem sawit penyebab deforestasi, ketelanjuran di kawasan hutan, pemerintah tak akan potong kompas dengan menjadikannya pohon.
Terlepas dari keributan substansi, tampaknya dunia akademisi perlu kembali membuka landasan hukum Naskah Akademik yang selalu menjadi ranah para akademisi dalam menyusun kebijakan. Setidaknya terdapat dua regulasi yang mengatur pembuatan naskah akademik, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Naskah Akademik adalah bagian penting mewujudkan pembentukan hukum tertulis. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya adalah sebuah sistem, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa atau tahapan yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya.
Tahapan tersebut adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Sehingga fungsi naskah akademik adalah sebagai naskah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dari sebuah peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan legislatif.
Tiga peran penting dari sebuah naskah akademik dalam sistem perundang-undangan, mencakup:
(1) Sebagai dokumen pembahasan (position paper), dokumen yang akan memberi arah kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) dan akan memudahkan pada saat pembahasan;
(2) Sebagai dokumen kebijakan (policy paper) yang memberikan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan (Juwana, 2006); dan
(3) Sebagai bahan harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan dengan hukum positif.
Kehadiran naskah akademik akan mengurangi peraturan perundang-undangan bermasalah karena memuat landasan filosofis, sosiologis dan yuridis sebagai dasar yang baik untuk suatu peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 68/2005, sebuah naskah akademik harus memuat:
(1) Dasar filosofis, untuk memuat cita hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
(2) Dasar sosiologis, yang memuat praktik di masyarakat yang ada, agar peraturan dapat berlaku efektif karena diterima masyarakat secara wajar; dan
(3) Dasar yuridis, sehingga perundang-undangan memiliki kaidah yang sah secara hukum/ mempertimbangkan alasan hukum/ menjamin kepastian hukum.
Dengan menimbang aturan penyusunannya, terbitnya naskah akademik Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegradasi memberikan beberapa pembelajaran:
Pertama, tidak sesuai dengan sistematika naskah akademik sesuai Undang-Undang 12/2011. Landasan hukum penggunaan istilah harus menjadi perhatian, karena akan menimbulkan kesalahan tafsir sebuah produk yang berdasarkan landasan hukum yang jelas.
Naskah Akademik harus berlandaskan penelitian memakai metode penyusunan yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Para penyusun seharusnya memperlihatkan kerangka penelitian hukum melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif bisa dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.
Kedua, satu hal yang harus juga diingat penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan kementerian/lembaga negara yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu (pasal 5 ayat 2 Perpres 68/2005). Naskah akademik sawit sebagai tanaman hutan meminggirkan etika tersebut. Tanpa menyebutkan pemrakarsa, dokumen tersebut tidak layak disebut naskah akademik.
Ketiga, sebagai sebuah naskah akademik seharusnya dokumen tersebut memuat evaluasi dan analisis peraturan perundangan-undangan terkait. Dokumen ini seharusnya memuat kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum, keterkaitan undang-undang dan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan yang ada, termasuk peraturan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan yang masih tetap berlaku karena tidak saling bertentangan.
Tim penyusun naskah akademik Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegradasi, sebaiknya membenahinya sebelum melemparkannya kepada publik, lalu mengujinya dalam forum publik akademik sebagai tanggung jawab akademis, meskipun usul ini sudah ditolak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati
Topik :