Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Februari 2022

Blunder Sawit Tanaman Hutan

Lima kelemahan argumen Fakultas Kehutanan IPB University yang mengusulkan sawit tanaman hutan. Mencederai ilmu dasar kehutanan.

Sawit tanaman hutan

USUL agar sawit menjadi tanaman hutan sudah menuai pro-kontra sejak Yanto Santosa, guru besar Fakultas Kehutanan IPB University, menggulirkannya. Gagasan lama ini mencuat kembali ketika Fakultas Kehutanan IPB secara resmi menuangkannya dalam naskah akademik “Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi”.

Sponsor naskah akademik ini adalah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia. Ketua Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, memang getol mendorong gagasan ini menjadi regulasi. Pada 2014, Kementerian Kehutanan mengadopsinya, namun aturan ini dibatalkan hanya beberapa jam setelah berlaku.

Konstruksi Kayu

Misi Gulat Manurung mendorong gagasan ini karena beberapa anggotanya memiliki kebun sawit di bawah 25 hektare berada di kawasan hutan sehingga ilegal. Jika sawit menjadi pohon, artinya sawit adalah tanaman hutan, status ilegal itu bisa dicabut.

Dalam disertasi di Universitas Riau, Gulat mengusulkan lima tipologi penyelesaian sawit rakyat di kawasan hutan. Empat tipologi sudah masuk dalam Peraturan Pemerintah 24/2021. Gulat menambahkan satu tipologi yakni resolusi konflik sawit petani dalam kawasan hutan produksi (tetap, terbatas, dan konversi).

Kata kunci tipologi kelima usulan Gulat adalah perkebunan sawit yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya namun memiliki keabsahan surat kepemilikan tanah; tidak tinggal di kebun; status kawasan hutan belum sampai penetapan; sawitnya tertanam sebelum UU Cipta Kerja terbit; tidak tumpang tindih dengan izin lain; dan luasnya tidak lebih dari 25 hektare. Jika kebun sawit ilegal memenuhi kriteria ini, ia usul agar dikeluarkan dari kawasan hutan.

Secara tersirat, Gulat mengusulkan pemutihan kebun sawit rakyat yang sudah telanjur masuk dalam kawasan dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan sebagaimana yang ditempuh korporasi kebun sawit selama ini untuk menjadi hak guna usaha (HGU).

Dalam skala makro, naskah akademik Fakultas Kehutanan IPB bertendensi ketelanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare diputihkan bukan sebagai perambahan atau okupasi kawasan hutan. Ini terlihat dari beberapa implikasi jika kelapa sawit dijadikan sebagai salah satu tanaman di kawasan hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif yang termuat dalam naskah akademik tersebut.

Berikut ini beberapa catatan atas argumen-argumen sawit sebagai tanaman hutan dalam naskah akademik Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi:

Pertama, naskah akademik menyebutkan bahwa kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi dan paling efisien dalam memanfaatkan radiasi matahari dibandingkan tanaman kehutanan lainnya. Nilai NPP (nilai produksi primer bersih) kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kehutanan lainnya, dan nilai NEE (net ecosystem change) juga tidak lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan. Sehingga konversi lahan kosong dan semak belukar menjadi kelapa sawit dapat meningkatkan penyerapan CO2 bagi ekosistem.

Memang benar, apabila NPP sawit dibandingkan dengan tanaman kehutanan seperti pinus, eukaliptus, akasia lebih tinggi nilainya dalam kondisi tumbuh pada habitat yang sama yakni lahan kering dalam kawasan hutan. Masalahnya, banyak kebun sawit di Indonesia yang tumbuh dalam kawasan hutan gambut baik secara legal maupun ilegal yang mengancam dan mengganggu cadangan karbon yang sangat besar di Indonesia.

Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 miliar ton karbon atau sekitar 55% karbon lahan gambut tropis dunia. Presentasi besar lahan gambut dunia yang di miliki Indonesia ini, jelas ada manfaat di seluruh dunia untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut di Indonesia.

Indonesia memiliki lahan gambut 14,9 juta hektare, tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan gambut merupakan lahan yang tidak subur atau lahan sub optimal karena pH tanah rendah dan kandungan unsur-unsur hara makro dan mikro rendah. Oleh karena itu, tanah gambut sebenarnya sulit ditanami dengan tanaman pertanian, kecuali tanaman yang bisa tumbuh pada lahan miskin, yaitu kelapa sawit, karet, dan akasia.

Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit harus memerhatikan beberapa cara yang berbeda dengan tanah mineral seperti pembenahan fisik tanah,  manajemen air, pemupukan, dan pemilihan varietas. Pembenahan fisik tanah harus memerhatikan ketebalan gambut. 

Menurut Dr. Suwardi M. Agr. pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB, yang paling baik untuk budidaya kelapa sawit pada lahan gambut yang tipis dengan ketebalan kurang dari 50 sentimeter.

Pada lahan gambut lebih dari 50 sentimeter, gambut perlu dipadatkan agar menahan beban batang kelapa sawit sehingga tanaman kelapa sawit tidak doyong. Pemadatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat berat pemadat tanah.

Karena itu budi daya kelapa sawit pada gambut sedang hingga sangat tebal (1-4 meter tidak ekonomis karena membutuhkan biaya sangat besar, selain bahaya lingkungan berupa kebakaran. Sebab kabut tebal adalah ekosistem penyerap panas yang bagus. Kandungan karbonnya bisa mencapai 30-70 kilogram per meter kubik. 

Apabila terjadi kebakaran, api akan menyala lama, membara di bawah tanah dan dapat menyala lagi bila bertemu oksigen. Selain itu juga akan mengeluarkan karbon dalam jumlah yang sangat besar bilamana lahan gambut telah menjadi kering. Ekosistem gambut semacam ini sangat rentan terhadap kebakaran.

Kedua, pemanfaatan lahan gambut untuk kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera lahan gambut tipis mempunyai ketebalan 50-100 sentimeter seluas 1,8 juta hektare.  Sementara kebun sawit di Sumatera seluas 7,9 juta hektare di lahan kering, 1,9 juta hektare yang tersebar di Sumut dan Aceh. Sisanya seluas 5,1 juta hektare merupakan kebun sawit di lahan gambut yang tersebar di Riau, Jambi dan Sumsel. Dengan demikian tidak kurang dari 3,3 juta hektare kebun sawit Sumatera terletak di lahan gambut ketebalan sedang hingga sangat tebal.

Sementara, di pulau Kalimantan, lebih dari 90% kebun sawit terletak di lahan gambut. Dari 5,6 juta hektare, 1,1 juta hektare merupakan gambut tipis setebal 50-100 sentimeter. Dengan demikian 4,5 juta hektare merupakan kebun sawit Kalimantan di lahan gambut sedang hingga sangat tebal.

Jadi dari luas kebun sawit 14,6 juta hektare di Indonesia tak kurang dari 10,6 juta hektare yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, 2,8 juta hektare merupakan kebun sawit di lahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 sentimeter. Sisanya berada di gambut tebal. 

Dari luas kebun sawit 14,6 juta hektare tersebut, 1,2-1,7 juta hektare akan dikembalikan lagi ke negara setelah melalui proses sanksi administratif dan diberikan waktu satu daur melalui sistem jangka benah yang telah ditetapkan melalui PP 23/2021.

Ketiga, meski penerimaan negara dari HTI dan kebun sawit berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), keduanya tidak dapat diperbandingkan. PNBP sawit dihitung berdasarkan penerbitan HGU yang membutuhkan pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah dan pelayanan pemeriksaan tanah. Sementara PNBP HTI dihitung berdasarkan volume kayu yang dapat dipanen dan dihasilkan berdasarkan tarif provisi sumber daya hutan (PSDH).

PNBP HGU jelas lebih mahal per satuan dibandingkan PSDH HTI. Demikian pula dengan nilai jual objek pajak lahan sawit dengan lahan HTI. Kondisi ini dapat terjadi karena lahan HGU dapat dijadikan jaminan di bank untuk memperoleh kredit, sementara lahan HTI tidak dapat dijadikan agunan di bank.

Keempat, pergeseran makna deforestasi atau degradasi terhadap kebun sawit di kawasan hutan menjadi reforestasi hutan dan rehabilitasi hutan menyalahi peraturan. Reforestasi hutan atau yang dikenal juga dengan istilah reboisasi dalam UU 41/1999 adalah bagian dari rehabilitasi hutan dan lahan selain penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Kelima, usul tanaman sawit sebagai tanaman pokok maksimal 65 -70%, ditambah tanaman unggulan setempat (ulin, jati, meranti) dan tanaman kehidupan lainnya sebagai tanaman sela, merusak dan menjungkirbalikkan paradigma kehutanan.

Dalam paradigma kehutanan, tanaman pokok adalah tanaman yang menghasilkan kayu yang dapat dicampur dengan tanaman multifungsi, yang biasanya berupa tanaman buah-buahan. Jadi tanaman sawit dengan hasil utama buah sawit (tandan buah segar), tanaman sawit bukan tanaman pokok, melainkan tanaman sela.

Maka keputusan KLHK tak memasukkan sawit sebagai tanaman hutan benar dan bijak. Selain konsistensi kebijakan, gagasan menjadikan sawit tanaman hutan melenceng dari ilmu dasar akademik.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain