
PADA periode pemerintahan pertama, 2014-2019, Presiden Joko Widodo mengerahkan tentara terlibat dalam program Upsus Pajale (Upaya Khusus Penanaman Padi, Jagung, Kedelai) 2015-2017. Ini cara pemerintah mengatasi kekurangan penyuluh pertanian.
Hingga 2018, jumlah penyuluh pertanian hanya 27.961 orang dari kebutuhan 98.126 orang. Dikejar target swasembada pangan 2017, Kementerian Pertanian membuat kesepakatan dengan TNI Angkatan Darat melalui program Upsus. Pemerintah mendorong peran Bintara Pembina Desa (Babinsa) membantu petani meningkatkan produktivitasnya berdasarkan pengalaman kerja sama Kodam dan pemerintah daerah di Sulawesi Selatan.
Kajian saya terhadap program Upsus Pajale 2015-2017 menunjukkan ada beban tugas luar biasa para Babinsa dalam mendorong petani meningkatkan produktivitas. Babinsa terlibat sejak tanam serempak hingga setelah panen melalui langkah Sergab (serapan gabah) bersama Bulog.
Babinsa bahkan harus mengecek data produksi dan kebutuhan input pertanian. Babinsa juga mengecek data di Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UPT BP3K) di lapangan. Para Babinsa terlibat pula dalam operasi pemberantasan hama tikus bersama dengan petani. Pada 2017, Kepala Staf Angkatan Darat menambah lagi jumlah Babinsa sebanyak 3.000 orang dalam program ini.
Terlibatnya tentara dalam produksi pertanian mengingatkan pada masa Orde Baru melalui program bimbingan massal (Bimas). Rezim Orde Baru menjadikan penyuluh pertanian dari pusat sampai daerah sejajar dengan satuan teritorial militer untuk memastikan petani memakai “bibit unggul,” alsintan, pestisida dan pupuk kimia.
Penyuluh pertanian menjadi rekayasa sosial untuk menggenjot produksi beras nasional. Bimas menjadi jalan mengampanyekan Revolusi Hijau dengan dukungan Bank Dunia. Bimas lalu dimodifikasi menjadi Insus (Intensifikasi Khusus) pada 1979 untuk mengubah pola penyuluhan menjadi diskusi degan kelompok tani dan mendorong pembentukan koperasi. Pada 1989 berkat dukungan hibah Yayasan Orang Amerika (USAID), penyuluhan pertanian beralih ke sekolah lapang (farmer field school).
Proyek sekolah lapang muncul ketika para teknokrat pembangunan mulai menyadari dampak buruk pestisida dalam produksi pertanian. Namun, sekolah lapang mendapatkan tantangan dari para purnawirawan jenderal yang memiliki koneksi bisnis dengan perusahaan pestisida internasional yang selama ini diuntungkan dari proyek Revolusi Hijau (Resosudarmo & Yamazaki, 2011).
Minimnya dukungan politik dan birokrasi yang dikendalikan militer menyebabkan sekolah lapang tak berjalan sehingga performa penyuluhan menurun 1994-1999 (Resosudarmo & Yamazaki, 2011). Krisis ekonomi 1997-1998 menyebabkan sekolah lapang sebagai metode penyuluhan tidak lagi menjadi program prioritas nasional.
Setelah Orde Baru runtuh, 1998-2006, kelembagaan penyuluhan pertanian mendapatkan stigma negatif karena ditunggangi kelompok politik. Otonomi daerah juga membuat para kepala daerah kurang menaruh perhatian pada kelembagaan penyuluhan pertanian karena pertanian tidak menghasilkan pendapatan asli daerah.
Kelembagaan penyuluhan pertanian kemudian diintegrasikan dengan dinas pertanian yang membuat banyak penyuluh pertanian mengisi jabatan struktural. Akibatnya jumlah fungsional penyuluh menyusut dan jumlahnya berkurang drastis.
Baru melalui Undang-Undang Nomor 16/2006, kelembagaan penyuluhan pertanian diatur secara khusus. Penyuluh pertanian dibagi tiga: penyuluh pertanian pegawai negeri, penyuluh swasta maupun aktivis LSM, dan penyuluh swadaya. Namun, tetap saja penyuluh sangat kurang.
Tak banyaknya tambahan penyuluh tiap bulan karena insentif yang rendah membuat mereka tak bisa menggantikan penyuluh yang pensiun. Belum lagi penyuluh yang dimutasi karena mengisi jabatan struktural. Para kepala daerah lalu menjalin kerja sama mengerahkan tentara.
Setelah program Upsus Pajale selesai, kelembagaan penyuluhan pertanian jadi “militeristik”. Misalnya, penamaan unit penyuluhan di tingkat kecamatan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo hendak menghidupkan kembali kerja sama dengan militer ini karena pengalamannya menggenjot produksi pertanian sewaktu menjabat Gubernur Selatan. Ia menamai penyuluh kecamatan dengan Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostra Tani), nama yang mirip dengan Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat.
Sejarah Orde Baru perlu menjadi pelajaran ketika melibatkan tentara dalam insitusi sipil dalam menggenjot produksi pertanian. Keberadaan militer dalam organisasi sipil, seperti lembaga penyuluhan, membuat peran dan fungsi penyuluh menjadi terbatas.
Bimbingan massal untuk menopang Revolusi Hijau memang mencapai swasembada pangan pada 1984. Namun, swasembada tersebut tidak bertahan lama. Ketergantungan pada pupuk kimia dan pestisida yang merusak lingkungan menjadi penyebab lain, di luas terbatasnya inisiatif petani menggenjot produktivitas lahan mereka.
Untuk menghidupkan kembali peran penyuluh pertanian konsep sekolah lapang layak ditimbang ulang. Sekolah lapang memberi ruang bagi petani untuk belajar dan mempraktikkan produksi pertanian yang berkelanjutan.
Sekolah lapang memungkinkan petani mengatasi problem kekurangan jumlah penyuluh. Hal ini juga membantu inisiatif petani dari bawah untuk membangun kesadaran bersama terkait masalah bersama di sektor pertanian. Ini akan mendorong petani secara partisipatif mengidentifikasi masalah yang mereka hadapi sehari-hari.
Mengembalikan pertanian pada institusi sipil dengan pendekatan sipil akan membantu program Reforma Agraria untuk mendorong produksi pertanian. Problem struktural kelembagaan penyuluh pertanian ini penting diperbaiki jika kita ingin produksi pertanian bertahan dan berkelanjutan sebagai bagian dari ketahanan pangan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pegiat kajian agraria, alumnus Departemen Politik & Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM
Topik :