PEMANFAATAN hutan gambut primer di Indonesia awalnya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH). Meskipun sistem silvikultur untuk hutan rawa gambut tidak diatur secara khusus, dalam sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) mengacu pada manajemen hutan hujan Dipterocarpaceae.
Ada tiga alternatif penentuan batas diameter tebangan, rotasi tebang, jumlah pohon inti dan diameter pohon inti di rawa gambut. Khusus untuk jenis kayu komersial, seperti ramin, diameter yang boleh ditebang lebih dari 35 sentimeter dan nonramin lebih dari 50 sentimeter. Batas diameter pohon inti ramin 15-34 cm dan nonramin 2-49 cm dengan jumlah pohon inti per hektare minimal 25 dan rotasi tebang 35 tahun.
Seiring waktu potensi kayu di hutan primer gambut menyusut, sehingga perusahaan yang mengelolanya berkurang. Hutan alam gambut yang ditinggalkan HPH beralih menjadi hutan tanaman industri (HTI) atau beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, karet, dan sejenisnya.
Pengelolaan lahan dan hutan gambut besar-besaran dan terkonsentrasi, dimulai setelah proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare di Kalimantan Tengah. Hutan gambut primer ditebang habis untuk diubah fungsinya menjadi pertanian. Proyek ini gagal total. Lahan gambut tidak cocok untuk tanaman padi.
Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat merugi akibat kerusakan sumber daya alam serta dampak hidrologi dari proyek tersebut.
Setelah Orde Baru runtuh, hutan rawa gambut secara khusus. Dalam UU Kehutanan 1999, hanya disebut larangan agar setiap orang tak menebang pohon dalam kawasan hutan dengan radius 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai rawa. Ekosistem gambut baru disebut dalam UU Nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Turunan UU 32/2009 termuat dalam PP 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Untuk melindungi hutan rawa gambut yang masih utuh, Presiden menerbitkan Instruksi 10/2011 tentang moratorium hutan alam primer dan hutan rawa gambut.
Setelah direvisi menjadi PP 57/2016, para pelaku usaha dan pemerintah tak sepakat. Soalnya, banyak areal gambut menjadi kawasan lindung yang notabene tidak dapat dimanfaatkan untuk perkebunan maupun hutan tanaman. Apalagi jika dikaitkan dengan tinggi muka air serta pembatasan siklus tanam bagi korporasi berada di lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 meter atau berada di dalam kawasan hutan rawa gambut.
Peneliti Lembaga Penelitan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto dampak aturan ini membuat 58,5% areal hutan tanaman berkurang seluas 702.560 hektare sehingga pasokan pulp dan kertas berkurang yang merugikan Rp 76,04 triliun.
Kerugian itu berasal dari berkurangnya PDB nasional, pendapatan masyarakat dan berkurangnya tenaga kerja dari pengelolaan hutan tanaman. Nilai kerugian ini bisa lebih besar lagi jika memperhitungkan dampak pada sektor perkebunan. Hitung-hitungan LPEM FEB UI, kerugian dengan PP baru ini selama lima tahun (2016-2021) adalah berkurangnya atau menurunnya produksi bahan baku kayu dari hutan tanaman sebesar 16,8 juta m3 dengan nilai ekonomi sebesar Rp 48,5 triliun.
Santun Sitorus, guru besar IPB University, menilai regulasi gambut yang baru kurang adil. Menurut dia, sebaiknya pemerintah mengizinkan industri beraktivitas dengan syarat mampu mengimplementasikan teknologi terbaru seperti tata kelola air untuk meminimalisasi emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran hutan.
Dengan banyak keberatan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Nomor P.10/2019 yang membuka kembali kawasan hutan gambut yang berfungsi lindung untuk usaha dengan syarat mempertahankan fungsi hidrologis gambut. Itu sebabnya, puncak kubah gambut tetap tidak boleh dimanfaatkan.
Menurut Badan Restorasi Gambut (sekarang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) tahun 2020, total luas gambut di Indonesia mencapai 13,34 juta hektare, dengan lahan gambut rusak 2,67 juta hektare. Pemulihan lahan gambut membutuhkan waktu puluhan tahun. Cara memulihkannya melalui rehabilitasi, suksesi alami, restorasi.
Pemerintah berkomitmen merestorasi 2,5 juta hektare lahan gambut yang rusak dengan proyeksi biaya US$ 3,2-7 miliar. Biaya ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak kerugian kebakaran hutan dan lahan 2015 di Indonesia US$ 28 miliar.
Studi Laura Kiely, peneliti di University of Leeds, menyebutkan luas lahan yang lokasinya. Menurut dia, restorasi gambut harus ditargetkan di area yang telah terbukti paling rentan terhadap kebakaran di masa lalu.
Sampai September 2021, Indonesia telah merestorasi gambut seluas 3,6 juta hektare di areal konsesi korporasi dan 45.950 hektar di areal kebun masyarakat. Restorasi ini bisa menurunkan gas rumah kaca 266,1 juta ton setara CO2. Menurut M. Askary Kepala Sub Direktorat Perlindungan Gambut KLHK, restorasi gambut meliputi pembasahan, revegetasi, dan suksesi alami.
Untuk pembasahan gambut telah dibangun lebih dari 30.000 sekat kanal. Tujuannya memastikan tinggi air tidak kurang dari 0,4 meter dari permukaan gambut. Pemantauan tinggi permukaan air gambut dilakukan di lebih dari 10.000 titik di Indonesia. Wakil Menteri Lingkungan Alue Dohong, pengelolaan lahan rawa gambut Indonesia akan menjadi rujukan internasional.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :