Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Februari 2022

Kodok dan Katak: Serupa Tapi Beda

Kodok dan katak adalah amfibi yang serupa tapi tak sama. Apa beda keduanya?

Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat (Foto: Dok. Didik Syaiful Mahdi)

TEMUAN kembali kodok merah (Leptophryne cruentatasetelah pandemi Covid-19 di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, menggembirakan karena amfibi ini terancam punah dan satu-satunya yang berstatus dilindungi. Di Halimun-Salak ada sekitar 20 jenis kodok dan katak. Apa beda kodok dan katak?

Kodok dan katak berasal satu genus Anura. Dari genus ini turun menjadi kodok yang berasal dari Bufonidae dan katak dari Ranidae. Di dunia, kodok yang sudah teridentifikasi berjumlah 300 spesies dan katak diperkirakan ada 400 jenis. 

Secara morfologi dan perilaku kodok dan katak juga berbeda. Permukaan kulit kodok lebih  kasar, berbintil, dan kering karena tidak hidup di air. Sementara permukaan kulit katak lebih licin karena tinggal di perairan.

Karena beda habitat, kodok memiliki kaki lebih pendek sehingga lompatannya juga lebih pendek dibanding katak. Ukuran tubuh keduanya juga berbeda. Kodok lebih gempal sementara katak lebih langsing, kecil, dan lincah.

Ketika bertelur, telur katak bergerombol seperti anggur. Beberapa katak betina biasanya memanggul telur di punggung dan meninggalkan kecebong setelah menetas. Sementara telur kodok memanjang seperti rantai yang mereka letakkan di tanaman air. Kodok tak meninggalkan kecebong setelah menetas. 

Pada beberapa jenis kodok, air liur dan cairan pelicin tubuhnya beracun. Katak umumnya tak memiliki racun.

Keberadaan kodok dan katak menunjukkan habitat tempat mereka tinggal masih bersih dan bagus. Beberapa jenis katak dan kodok bahkan hanya bisa tinggal di ekosistem yang sempurna, yakni daya dukung lingkungannya masih memberikan jasa lingkungan maksimal.

Kodok merah di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Muncul kembali di masa pandemi Covid-19 setelah 13 tahun tak terlihat (Foto: Dok. TNGHS)

Kemunculan kembali kodok merah di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak karena ditutup akibat pandemi menandakan intervensi manusia terhadap alam membuat mereka bersembunyi dan tertekan. “Amfibi memang indikator lingkungan yang bagus,” kata Didi Syaiful Mahdi, pengamat amfibi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain