Kabar Baru| 17 Februari 2022
Subsidi Rp 26.100 Triliun Merusak Bumi
SEBUAH penelitian yang terbit pada 17 Februari 2022 coba menghitung biaya menghidupkan ekonomi yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Jumlahnya mencengangkan. Selama ini dunia menghabiskan US$ 1,8 triliun atau Rp 28.100 triliun per tahun yang berakibat pada pemanasan global dan krisis iklim.
Biaya tersebut dikenal dengan istilah environmental harmful subsidies (EHS). Maksudnya, dana publik itu yang digelontorkan pemerintahan seluruh negara untuk pelbagai sektor melalui dukungan kebijakan: energi fosil, pertanian, kehutanan, transportasi, konstruksi, perikanan, air, hingga penambangan batu keras.
Di Indonesia, bentuknya pembebasan royalti bagi industri batu bara atau pengurangan pajak. Di industri kehutanan dana reboisasi yang rendah dari penebangan pohon juga termasuk skema subsidi bagi industri kehutanan yang menebang pohon atau subsidi biodiesel kepada industri sawit.
Subsidi yang ditopang atau melalui kebijakan ini membuat jumlah keanekaragaman hayati menurun, alam rusak, hutan binasa, hingga mengakibatkan pelbagai bencana iklim. Upaya pemerintah mengendalikan inflasi mendorong tiap negara menyubsidi komoditas untuk menekan harga.
Studi sebelumnya oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut angka yang lebih besar lagi, yakni US$ 5,9 triliun, hanya untuk industri fosil. Namun, jumlah ini mencakup biaya eksternalitas, atau ongkos lingkungan dari kerugian ekonomi akibat kebijakan dan praktik bisnis yang tidak berkelanjutan.
Dalam rilis The B Team dan Business for Nature para peneliti menyebutkan bahwa dana publik sebesar itu sebagian besar, atau 80% diterima oleh industri energi fosil, pertanian tak berkelanjutan, dan industri air. Sisanya perikanan, kehutanan, transportasi, dan konstruksi.
Christiana Figueres, mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, lembaga PBB yang menangani perubahan iklim dan menjadi anggota The B Team mengatakan bahwa subsidi sebesar US$ 1,8 triliun menciptakan risiko besar bagi bisnis yang menerimanya karena membuat ekonomi tak berkelanjutan. “Sementara kami belum memenuhi target pendanaan iklim US$ 100 miliar per tahun,” kata dia.
Dalam Perjanjian Paris 2015, negara-negara maju yang menghadiri konferensi iklim telah berjanji untuk urunan menyediakan dana US$ 100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang membuat mitigasi krisis iklim. Janji ini tak kunjung cair hingga Konferensi Iklim di Glasgow tahun lalu menegaskan kembali agar negara maju memenuhi komitmen mereka.
Karena itu riset Th B Team dan Business for Nature merilis angka US$ 1,8 triliun yang menghasilkan bencana iklim, penelitian ini menampar banyak negara yang omong doang menyediakan pendanaan. US$ 100 miliar menjadi tak berarti dibanding biaya merusak bumi yang mengakibatkan bencana iklim.
The B Team dan Business for Nature menghitung subsidi US$ 100 miliar untuk mereformasi kebijakan subsidi yang merusak bumi tidak cukup. Menurut para peneliti di panel ini, dunia setidaknya butuh US$ 500 miliar untuk mengubah kebijakan yang selaras dengan lingkungan melalui mitigasi krisis iklim.
Dalam studi subsidi merusak bumi, para peneliti memerinci dampak-dampak buruk subsidi untuk tiap sektor. Industri bahan bakar fosil, misalnya, menerima subsidi sebanya US$ 640 miliar per tahun yang mengakibatkan polusi udara, air, dan penurunan muka air tanah. Sementara sektor pertanian menerima US$ 520 miliar yang mendorong deforestasi, erosi, polusi air, sampah, konversi habitat satwa, hingga menghasilkan gas rumah kaca.
Tahun lalu, dalam Konferensi Sistem Pangan di New York, PBB merilis studi yang menghitung dampak subsidi kepada para petani terhadap kerusakan lingkungan. Menurut studi itu, setiap tahun tiap negara memberikan subsidi langsung kepada petani sebesa US$ 522 miliar. Hasilnya, pertanian malah merusak lingkungan karena pemakaian pestisida, pelesapan gas metana, atau pembukaan hutan.
Eva Zabey, Direktur Eksekutif Business for Nature, mengatakan bahwa industri acap kali tak sadar atau pura-pura tak peduli dengan dampak dari subsidi yang merusak bumi. Eva menyarankan agar soal ini tak menjadi tabu dibicarakan di kalangan industri mengingat dampak lingkungannya yang dahsyat. “Kita perlu berbicara menggunakan fakta dan memahami ke mana arah arus keuangan dalam industri tiap sektor,” kata dia.
Sebetulnya ini nasihat untuk The B Team sendiri. Lembaga ini didirikan oleh taipan Inggris Richard Branson bersama sejumlah pengusaha pada 2013. Huruf B di sana mengacu pada “rencana B” untuk bisnis, yakni menghentikan cara-cara ekstraktif merusak bumi. Pengusaha dalam B Team membuat kajian untuk mereka jalankan sendiri membuat bisnis yang tak mengakibatkan krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :