Kabar Baru| 20 Februari 2022
Nol Emisi Perusahaan Minyak Baru Sebatas Janji
MITIGASI krisis iklim akan berhasil tak hanya didorong oleh regulasi negara yang memaksa tiap orang menurunkan emisi karbon. Lebih penting dan utama adalah kesediaan industri beralih ke ekonomi hijau. Perusahaan minyak, gas, dan batu bara, misalnya, harus bersedia berinvestasi dalam energi terbarukan.
Tanpa kemauan industri, mitigasi krisis iklim akan tersaruk-saruk. Sementara bumi kian merana akibat pemanasan global dengan target penurunan emisi kian tak terkejar. Untuk bisa menahan suhu tak naik 1,50 Celsius pada 2050, penduduk bumi harus mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 45% dari produksi emisi tahunan 51 miliar ton setara CO2.
Masalahnya, harapan ini masih jauh. Sebuah studi gabungan Universitas Tohoku dan Universitas Kyoto, Jepang, menemukan korelasi antara wacana, janji, dan investasi empat perusahaan minyak besar di Amerika dan Eropa hanya omong doang. Ada ketidaksinkronan antara wacana menurunkan emisi karbon untuk mencegah krisis iklim dengan janji dan investasi yang mereka lakukan.
Analisis tersebut memakai data perusahaan selama 12 tahun, 2009-2020. Kajian para peneliti memakai data kuantitatif dan kualitatif diterbitkan di jurnal PLOS One edisi 16 Februari 2022. Mereka meneliti dokumen-dokumen perusahaan BP dan Shell, perusahaan minyak besar di Eropa, dan ExxonMobil dan Chevron, yang mewakili Amerika.
Para peneliti menyimpulkan perusahaan minyak Eropa cenderung lebih responsif terhadap tuntutan zaman dalam mitigasi krisis iklim. Mereka, kata studi ini, lebih konsisten mengakui ilmu iklim, berpartisipasi lebih awal dalam kerangka kerja perubahan iklim industri, belanja teknologi dekarbonisasi produk energi.
“Tertinggal jauh di belakang, perusahaan minyak Amerika terus defensif terhadap investasi energi terbarukan dan kebutuhan beralih dari energi fosil,” demikian tertulis dalam kesimpulan studi.
Secara keseluruhan, baik perusahaan minyak Amerika dan Eropa, belum secara konkret menerjemahkan janji mereka menjadi tindakan mengurangi emisi dalam investasi maupun operasi mereka. “Perusahaan harus membuat strategi lebih konkret mengalihkan bisnis inti mereka dari energi fosil ke energi terbarukan,” tulis para peneliti.
Studi ini juga dengan telak menunjukkan antara wacana mitigasi krisis iklim, janji, strategi bisnis, dan investasi perusahaan minyak saling bertentangan. Misalnya soal pengurangan bahan bakar fosil. Alih-alih mengurangi eksplorasi dan pengembangan baru sumur-sumur minyak, perusahaan kian agresif mengeruk sumber daya alam fosil.
Juga lobi-lobi intensif atas penetapan harga karbon melalui kebijakan negara, melemahkan peraturan lingkungan, dan mengamankan dukungan fiskal yang menguntungkan kepada pemerintah. Penetapan harga karbon ini penting untuk memaksa industri menurunkan emisinya karena memproduksi emisi karbon terkena penalti yang tak ekonomis.
Baru ada 24 negara di dunia yang sudah memasuki perdagangan karbon. Itu pun harganya masih jauh dari patokan bisa menurunkan emisi secara radikal. Harga karbon masih sangat murah sehingga emisi terus naik. Menurut IMF, harga karbon ideal agar perdagangan emisi bisa menjadi instrumen menahan suhu bumi, paling tidak US$ 120 per ton CO2. Kini harga karbon masih di bawah US$ 50. Karbon Indonesia bahkan mentok di US$ 5 per ton.
Para peneliti juga menyoroti iklan dan kampanye perusahaan produsen emisi besar yang mereka sebut “menyesatkan”. Tak hanya mengklaim transisi ke energi bersih dan ekonomi hijau akan mengguncang perekonomian, kampanye “jejak karbon” juga mengalihkan tanggung jawab emisi kepada konsumen. Gas, misalnya, dipromosikan sebagai energi hijau.
Perusahaan-perusahaan energi fosil memang mengumukan telah berinvestasi di energi bersih. Hal itu terbaca dalam laporan keuangan mereka. Namun, kata para peneliti, jumlahnya cenderung dilebih-lebihkan. “Tidak ada bukti yang menunjukkan perusahaan besar mana pun telah memasuki pasar energi terbarukan pada skala yang akan menunjukkan pergeseran dari bahan bakar fosil,” tulis mereka.
Agar semua janji perusahaan minyak bisa diperiksa, para peneliti juga menganjurkan keterbukaan data soal investasi di sektor energi bersih. Dengan menganalisis wacana, janji, dan investasi perusahaan minyak yang tak selaras, para peneliti ini menyimpulkan bahwa “Tuduhan pencucian hijau atau greenwashing oleh perusahaan minyak sangat beralasan.”
Para peneliti menduga, besar janji daripada tindakan nyata juga bagian dari kampanye perusahaan minyak besar untuk mempertahankan citra positif mereka di masyarakat. Alih-alih mewujudkannya, perusahaan memilih kampanye lebih masif untuk mencitrakan diri sebagai perusahaan yang peduli kepada bumi dan masa depan generasi manusia.
Untuk memaksa perusahaan minyak segara insaf mengurangi emisi mereka, para peneliti menyarankan agar pemerintah menghentikan pelbagai subsidi. Studi terbaru Th B Team dan Business for Nature menemukan bahwa Rp 26.100 triliun subsidi untuk pelbagai sektor terbukti merusak bumi.
Kepada The Guardian, para juru bicara empat perusahaan minyak terbesar di dunia dalam studi ini kompak mengulang kembali janji mereka untuk terlibat dalam mitigasi krisis iklim.
Juru bicara ExxonMobil, misalnya, mengatakan: “Menurunkan emisi membutuhkan solusi dalam skala besar. Kami berencana memainkan transisi energi, sambil mempertahankan fleksibilitas investasi di seluruh portofolio peluang yang berkembang, termasuk misalnya penangkapan karbon, hidrogen, dan biofuel.”
Chevron: “Kami fokus untuk menurunkan intensitas karbon dalam operasi kami dan berusaha menumbuhkan bisnis yang lebih rendah karbon bersama dengan lini bisnis tradisional kami. Kami merencanakan US$ 10 miliar investasi karbon yang lebih rendah pada 2028.”
Shell: “Target Shell mencapai energi bersih nol emisi pada 2050. Kami juga merupakan perusahaan energi pertama yang mengajukan strategi transisi energi kepada pemegang saham untuk pemungutan suara, sehingga mendapatkan dukungan kuat.”
BP: “Pada 2020 kami menetapkan ambisi, tujuan, dan strategi bersih baru kami, dan pada tahun 2021 menyelesaikan transformasi terbesar perusahaan dalam sejarah untuk mewujudkannya. Karena makalah ini melihat periode 2009-2020, kami tidak percaya perkembangan dan kemajuan ini masuk perhitungan.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :