Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 21 Februari 2022

Efektivitas Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan fiskal sektor kehutanan bisa menjadi instrumen mengontrol bisnis berbasis lahan hutan yang efektif dan efisien. Bagaimana kenyataannya?

Kebijakan fiskal sektor kehutanan. Sampai di mana? (Foto: Nattanan/Pixabay)

SEBUAH usaha, oleh pelaku besar atau kecil, selalu menimbang biaya dan harga untuk menghitung keuntungan. Bentuknya bisa macam-macam: meluaskan area usaha, menjaga wilayah usaha atau mengonversinya, bahkan melakukan kegiatan ilegal.

Usaha mencari untung itu wajar. Pilihannya adalah apakah keuntungan itu bermanfaat bagi publik atau tidak, berjangka panjang atau pendek. Kini ada anjuran agar usaha bermanfaat bagi orang banyak ia harus berkelanjutan.

Konstruksi Kayu

Faktanya, keuntungan dan keberlanjutan acap tak sejalan. Sering kali usaha yang mempraktikkan cara-cara kelestarian malah merugi. Sebaliknya, usaha yang melanggar malah untung besar. Celakanya lagi, untung besar karena melakukan praktik ilegal itu didukung oleh kebijakan. Salah satunya oleh kebijakan fiskal. 

Di sektor kehutanan, kebijakan fiskal berupa berbagai jenis pungutan atau subsidi. Karena itu kebijakan fiskal bisa menentukan perilaku sebuah bisnis kehutanan.

Iuran yang dibayar sekali sepanjang izin usaha dan nilainya berdasarkan luas lahan bisa mendorong ekspansi atau intensifikasi industri. Jika nilainya kecil, pengusaha cenderung akan ekspansi. Atau malah menelantarkannya. Sebaliknya, semakin mahal iuran pengusaha akan terdorong menaikkan produktivitas agar iuran terbayar secara maksimal oleh produktivitasnya.

Untuk menghindari penelantaran lahan karena nilai iurannya kecil, perlu ada iuran tambahan bagi lahan yang tidak produktif. Disinsentif ini akan mendorong pelaku usaha menghindari penelantaran lahan. Bisa jadi, karena penalti itu mendorong pelaku usaha menyelesaikan segala problem di atasnya dengan segera. Misalnya, segera menuntaskan konflik sebelum memulai bisnisnya. Konflik tentu akan menghambat usaha.

Dalam bisnis kehutanan pajak atau provisi atau iuran acap didasarkan pada volume produksi dengan satuan meter kubik. Ini terlihat ideal tapi mudah dimanipulasi. Pemerintah sebagai penerima pajak harus mengetahui ketepatan volume agar pajak dibayar secara benar.

Alternatifnya menetapkan nilai iuran atau provisi berdasarkan luas lahan yang digunakan sebagai faktor produksi. Di hutan alam produksi kayu biasanya 30-80 meter kubik per hektare. Sementara di hutan tanaman 150-250 meter kubik per hektare. Provisi bisa memakai rumus luas lahan kali tarif per hektare.

Dengan rumus seperti itu, ada insentif bagi produktivitas hutan tanaman. Caranya, tarif mengecil untuk tiap kenaikan produktivitas per hektare. Memakai pajak untuk mendorong produktivitas biasanya meningkatkan kepatuhan tanpa harus membuat regulasi yang memaksanya. Sebab, ada potensi keuntungan dari kebijakan fiskal seperti ini.

Kita bisa mempelajari efektivitas kebijakan fiskal di sektor kehutanan dengan melihat laporan Bank Dunia 2021 berjudul Designing Fiscal Instruments for Sustainable Forests:

Menurut laporan tersebut kebijakan fiskal sektor kehutanan di mana pun ketinggalan dibanding sektor lain. Pajak kehutanan telah mendorong degradasi dan deforestasi, alih-alih melindungi hutan dan menaikkan konservasi. Padahal, kebijakan fiskal yang cermat seharusnya membantu mengurangi biaya perlindungan hutan.

Agar kebijakan fiskal bisa menjadi instrumen kelestarian, kerangka perencanaan dan anggarannnya mesti secara akurat mencerminkan nilai hutan. Hutan sering dinilai secara murah karena banyak manfaatnya tak termonetisasi.

Pada 2012 pemerintah Ethiopia memperkirakan sektor kehutanan hanya menyumbang 3,8% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan kontribusi sektor hutan ke PDB Ethiopia tak kurang dari 12,8%.

Asumsi nilai hutan yang rendah akan mendorong konversi lahan. Agar hutan memiliki nilai tinggi, semestinya perhitungannya tak hanya nilai kayu atau total jasa lingkungan, juga kontribusinya bagi sektor lain.

Soalnya, dampak insentif fiskal untuk sektor kehutanan cenderung tidak menjadi pertimbangan sistematis dan holistik. Konversi hutan menunjukkan sektor lain dianggap memberikan nilai lebih tinggi. Brasil dan Indonesia memberikan subsidi lebih dari US$ 40 miliar untuk empat komoditas pendorong deforestasi melalui konversi hutan ke pertanian dan perkebunan.

Rendahnya nilai hutan, karena hanya nilai kayu yang dihitung, membuatnya dikonversi ke lahan yang lebih menguntungkan. Deforestasi dan degradasi lahan tak akan bisa dihentikan sepanjang nilai hutan dianggap tak memberikan manfaat ekonomi.

Pajak dan retribusi sektoral yang terlalu rendah juga akan mengurangi pendapatan pemerintah. Akibatnya, perusahaan kayu yang tak efisien akan menurunkan harga kayu sehingga pendapatan pajak juga jadi rendah.

Tahun 1990-an, pajak dan retribusi sektor kehutanan Indonesia hanya US$ 20-25 per meter kubik. Sedangkan harga kayu bulat free-on-board (FOB) rata-rata US$ 81-300 per meter kubik. Masalahnya, pendapatan US$ 272 juta per tahun itu sebanyak 70% berasal dari retribusi yang tak berubah sejak 1999.

Kini, kebijakan fiskal sektor kehutanan menghadapi tantangan kelembagaan, tata kelola, dan implementasi. Tarif pajak yang tinggi akan mendorong perusahaan keluar dari sektor formal untuk menghindarinya.

Karena itu kebijakan fiskal kehutanan Indonesia stagnan. Sejak 2014, jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tak berubah. Tarifnya tetap sejak 2016. Dengan tata kelola yang belum mendukung, perlu ada perombakan cara pemungutan agar kebijakan fiskal menjadi efisien. Mungkin memakai teknologi informasi agar pengawasan dan kontrolnya lebih efektif.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain