SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan laut yang besar. Menurut Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), nilai kekayaan laut Indonesia setara Rp 19.000 triliun.
Masalahnya, kekayaan laut Indonesia itu belum dinikmati oleh orang terdekat dari laut, yaitu masyarakat pesisir. Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan sekitar 4% dari total penduduk miskin Indonesia, 12,5% berada di pesisir.
Jumlah orang miskin dalam kategori ekstrem sebanyak 10,86 juta jiwa dari 27,54 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin di pesisir sebanyak 1,3 juta orang. Penyebabnya adalah krisis iklim.
Perubahan iklim mempengaruhi sektor perikanan secara signifikan dari segi fisik lingkungan dan ekosistemnya. “Dampak selanjutnya adalah kualitas perikanan secara langsung,” kata Dedi Adhuri, peneliti pada Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional pada 23 Februari 2021.
Dedi menerangkan secara sederhana dampak krisis iklim terhadap perikanan. Ketika terjadi perubahan fisik lingkungan seperti suhu udara, kecepatan dan arah angin, abrasi, secara ekologi sebaran habitat ikan terganggu.
Sebaran spesies, waktu reproduksi, hingga perubahan perilaku adalah indikator kerusakan ekologi akibat krisis iklim. Akibatnya produktivitas sektor perikanan berpengaruh secara langsung kepada kehidupan nelayan.
Selain krisis iklim, penyebab lain dari kesenjangan yang tinggi di wilayah pesisir adalah adanya investasi berupa reklamasi kawasan pesisir, tambang pasir laut, dan pariwisata pesisir dan pulau kecil. Pengaruh investasi ini adalah menyempitnya ruang nelayan kecil dalam mencari ikan akibat proyek yang dibangun atas dasar investasi.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menunjukan studi lembaganya tentang dampak investasi itu. Investasi reklamasi pada daerah pesisir melahap lahan seluas 79.348 hektare yang mempengaruhi pendapatan sekitar 747.383 keluarga.
Pertambangan pesisir sejumlah 26 titik telah mempengaruhi 35 ribu keluarga dan sebanyak 6.081 desa pesisir telah tercemar limbah pertambangan. “Pariwisata pesisir dan pulau kecil mengubah identitas nelayan nasional seperti di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo,” kata Susan.
Penangkapan ikan secara ilegal, tidak tercatat, dan tidak sesuai regulasi juga menjadi salah satu penyebab kesenjangan nelayan. Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengizinkan eksploitasi sumber daya laut dengan mengizinkan kapal asing masuk perairan Indonesia.
Susan berpendapat, sanksi yang diberikan terhadap pelaku pengerukan sumber daya laut Indonesia masih tergolong lemah. Kini persaingan di laut kian sengit dengan masuknya sektor usaha besar mengeruk kekayaan laut Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menambah parah kondisi nelayan lewat peraturan tentang penerapan sistem kontrak di wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Peraturan ini membagi zona penangkapan ikan menjadi zona nelayan lokal, zona industri perikanan, dan zona pemijahan dan pembibitan ikan.
Parid Ridwanuddin, manajer kampanye pesisir dan laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sebuah NGO, mengatakan bahwa kebijakan zonasi laut ini sebagai bentuk eksploitasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan.
Soalnya, kata Parid, kebijakan tersebut memberikan karpet merah bagi korporasi dengan metode lelang terbuka kepada 4-5 investor per WPP dan menggunakan ikatan kontrak selama 20 tahun. Hal itu, kata Parid, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
Pengavelingan wilayah laut untuk industri besar ini mirip dengan pembagian blok hutan bagi korporasi besar di era hak pengusahaan hutan. Akibatnya konflik korporasi dan masyarakat lokal yang sudah tinggal sebelumnya meledak.
Di laut jauh lebih mencemaskan karena penduduk bertempat tinggal di pesisir sementara laut merupakan area terbuka. Para nelayan akan kian tersisih karena zonasi yang membuat mereka tak bisa lagi memanfaatkan laut untuk kehidupan sehari-hari.
“Seharusnya pemerintah melindungi dan memberdayakan nelayan Indonesia terlebih dahulu, bukan mengutamakan eksploitasi, swastanisasi, liberalisasi sumber daya ikan di laut Indonesia,” terang Parid.
Dalam penjelasannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan latar belakang zonasi itu karena ada perbedaan karakteristik laut Indonesia. Dari 6,4 juta kilometer laut Indonesia, ada 11 wilayah pengelolaan perikanan yang manajemen dan perlakuannya berbeda-beda.
Pengelolaan WPP, menurut penjelasan itu, mengacu pada rencana pengelolaan perikanan (RPP) yang disusun “semua pihak berdasarkan informasi ilmiah terbaik”. Dimulai dari forum, Lembaga Pengelola Perikanan memberikan rekomendasi jenis pengelolaan sesuai wilayah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.
UU Cipta Kerja telah diturunkan menjadi PP 27/2021 yang mengatur Lembaga Pengelolaan Perikanan. Teknis kerja lembaga ini dalam mengelola laut Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan Nomor 22/2021.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :