Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Februari 2022

Hikmat Ramdan yang Motekar

Obituari Hikmat Ramdan, dosen ITB yang meneliti dan mengembangkan forest healing di Indonesia. Ia gandrung pada inovasi.

Hikmat Ramdan di depan pembakaran sampah ramah lingkungan IPB University (Foto: Facebook Hikmat Ramdan)

HIKMAT Ramdan yang saya kenal punya multiwajah. Awalnya, saya mengenal lulusan teknologi hasil hutan Fakultas Kehutanan IPB 1990 ini sebagai dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hayati ITB yang mendampingi petani kopi di Jawa Barat agar mendapatkan nilai tambah komoditas dengan mengolahnya.

Di awal 2015, para petani kopi di Bandung secara turun-temurun hanya menjual biji merah yang murah. Petani tak punya modal dan pengetahuan memilah kopi agar diterima pasar yang lebih luas dengan harga yang sepadan dengan kerja kerasnya. 

Konstruksi Kayu

Hikmat lalu membuat mesin pemipil kopi. Nama “Hatena”. Mesin pemipil kopi buatan Hikmat mereduksi semua cacat mesin kopi yang ada di pasaran: memakai bahan bakar minyak yang berpengaruh pada wangi kopi, tak bisa memipil kopi basah dan kering sekaligus, atau biji kopi jadi pecah.

Dengan Hatena, para petani yang tergabung dalam Gabungan Petani Kopi Kebun dan Hutan Indonesia (Gappekhi) bisa menjual biji kopi dari biji merah yang hanya Rp 5.000 hingga Rp 40.000 per kilogram menjadi Rp 22.500 hingga Rp 150.000. Di Jawa Barat, produktivitas kopi per hektare 300 kilogram. Dengan memberikan nilai tambah, produktivitas lahan juga menjadi naik.

Setelah membuat mesin pemipil kopi, Hikmat juga membuat mesin pemilah sampah untuk membantu masyarakat sekitar sungai Citarum yang kesulitan memilah sampah ketika mengangkutnya dari sungai. Mesin pengolah sampah ini portabel dan memakai tenaga hidrolik. Praktis, tak perlu listrik. “Buat saya, teknologi itu harus 2K,” katanya pada 2016. “Kaharti jeung karasa (berguna dan bermanfaat).”

Hikmat juga mendesain peta jasa layanan ekosistem air di hutan melalui HESSA atawa Hydro Ecosystem Services Spatial Assesment. Peta HESSA bisa mendeteksi batas wilayah penyedia dan pengguna air di sebuah kawasan hutan sehingga jasa lingkungannya bisa dikalkulasi. Perum Perhutani di Jawa Barat mengadopsi metode inventarisasi air ini di hutan mereka.

Hikmat yang motekar (kreatif) kini telah tiada. Pada 27 Februari 2022 malam ia berpulang di usia 50. Di grup WhatsApp yang kami ikuti, malam sebelumnya ia mengirim swafoto dengan selang di hidungnya. Tapi wajahnya terlihat segar. Menurut dokter di RS Marzuki Mahdi Bogor, Hikmat sudah keluar dari ruang rawat darurat.

Drone pemantau polusi udara rancangan Hikmat Ramdan

Teknologi terakhir yang digeluti Hikmat adalah teknologi drone. Bersama komunitas pengguna drone ia mengembangkan drone yang bisa mengangkut pupuk dan bibit yang sudah diujicobakan di Karawang. Dengan drone itu, pemakaian pupuk lebih efektif sehingga menghemat. Dengan pupuk tepat sasaran dan pas karena dosis bisa diatur lebih presisi, produktivitas lahan juga jadi naik.

Tapi hal paling melekat pada nama Hikmat Ramdan adalah forest healing. Ia mungkin dosen yang pertama mengembangkan jasa lingkungan hutan untuk pengobatan. Dengan tekun ia meneliti hutan-hutan di Indonesia yang bisa memberikan jasa lingkungan yang pas untuk forest healing.

Dari penelitiannya di pelbagai kawasan hutan, yang ia tulis di jurnal-jurnal internasional, forest healing kini memiliki standar nasoinal Indonesia (SNI). Ini memang cita-cita Hikmat sejak lama: dengan memiliki standar, forest healing bisa diterapkan oleh siapa saja dengan basis ilmiah. 

Forest healing bukan hal baru. Orang Jepang mengenalnya sejak 1980-an sebagai shinrin-yoku atau mandi hutan. Para peneliti yang menelisik lebih jauh soal jasa lingkungan hutan terhadap kesehatan menemukan bahwa udara segar dari pohon bisa memperkuat imunitas tubuh. Zat-zat yang dihasilkan dari batang, kehijauan daun, yang bersekutu dengan udara segar bahkan mampu membunuh virus.

Dr. Qing-Li menabalkannya lewat buku Shinrin-yoku: The Art and Science of Forest Bathing. Buku yang terbit pada 2018 ini mengukuhkan bahwa mandi hutan bisa menjadi terapi untuk kesehatan. Para peneliti lain yang menekuni lebih jauh soal mandi hutan menetapkan standar hutan seperti apa yang bisa memberikan jasa lingkungan dalam penyembuhan.

Hikmat Ramdan menggeluti forest healing di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran bahwa melindungi hutan sama saja menjaga manusia karena memberikan proteksi dari ancaman bencana. Dari pelbagai penelitiannya, ia menyimpulkan hutan yang memberikan jasa lingkungan untuk penyembuhan jika ekosistemnya memberikan rasa nyaman bagi tubuh. 

Maka ia pun mengalkulasikan lebih eksak: hutan untuk forest healing jika suhu lingkungan maksimal 240 Celsius, kelembapan udara 65-70%, intensitas cahaya 300-500 lux, kerapatan vegetasi 70-100%, kebisingan di bawah 40 desibel, dan kelerengan datar sampai landai. “Kalau terlalu terjal lutut akan nyorodcod, kita tidak nyaman berjalan,” kata orang Garut ini. 

Untuk menguji ekosistem itu menyembuhkan, Hikmat meminta sejumlah relawan berjalan di bawah tegakan hutan. Sebelumnya ia mengukur level stres dan kadar oksigennya. Setelah berjalan 2-3 kilometer ia mengukurnya ulang. “Forest healing yang berhasil jika level stresnya berkurang,” kata dia.

Dari mana hutan bisa memberikan kenyamanan dan menurunkan stres? Menurut Hikmat, resultante dari ruang hutan yang didominasi warna hijau alamiah, suhu yang sejuk dengan penyinaran matahari yang terfilter tajuk pohon-pohon, kebisingan suara dalam hutan yang minimal dan menenangkan, menciptakan rasa nyaman secara fisik dan mental.

Dalam banyak penelitian, udara yang segar mengandung banyak phytoncides, bahan kimia alami yang diproduksi tanaman dalam melindungi diri dari serangan hama dan serangga. Literatur menjelaskan jika kita menghirup zat kimia ini, tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan jumlah dan aktivitas jenis sel darah putih yang menjadi sel pembunuh alami. Sel-sel ini berperan membunuh sel-sel yang terinfeksi tumor dan virus dalam tubuh kita.

Penelitian-penelitian forest bathing, terutama yang dirumuskan Qing Li, menemukan bahwa naiknya aktivitas sel pembunuh kanker terjadi setelah berjalan di hutan 3 hari 2 malam dalam kurun 30 hari. Maka tak heran, Li salalu menyempatkan diri berjalan-jalan di taman dua jam setiap sore dan masuk hutan tiap akhir pekan untuk mengakumulasikan waktu tempuh shinrin-yoku. Para peneliti Jepang tengah meneliti apakah “mandi hutan” bisa menyembuhkan jenis kanker tertentu. 

Karena itu, menurut Hikmat, healing on forest menuntut beberapa syarat. Sebetulnya, kata dia, dalam proses penyembuhan memakai hutan, ekosistemnya mesti ditentukan lebih dahulu karena ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi. “Tidak semua kawasan hutan punya spot untuk healing on forest,” kata dia.

Jasa Hikmat dalam forest healing adalah membuatnya memiliki standar sehingga siapa saja bisa mencari spot hutan yang menyembuhkan dengan pas dan diakui secara ilmiah.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mengelola blog catataniseng.com. Menjadi wartawan sejak 2001 dan penerima penghargaan Mochtar Lubis Award serta Jurnalis Jakarta Award untuk liputan investigasi. Bukunya: #kelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain