Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Maret 2022

Elang Jawa Kembali ke Habitatnya

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak melepas dua elang Jawa setelah rehabilitasi. Keberadaannya penting sebagai penyeimbang ekosistem.

Salaka, elang Jawa saat keluar sangkar saat dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, 28 Februari 2022 (Foto: Dok. TNGHS)

TAMAN Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) melepaskan elang Jawa setelah lima bulan rehabilitasi ke habitatnya pada 28 Februari 2022. Sehari sebelumnya, Balai TNGHS juga melepas elang brontok kembali ke habitat mereka di hutan Gunung Halimun-Salak di Jawa Barat.

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) yang dilepas itu diberi nama Salaka. Ini nama yang diberikan oleh Star Energy Geothermal, Ltd., perusahaan energi panas bumi yang berada di kawasan taman nasional. Salaka dilepas di area perusahaan.

Konstruksi Kayu

Menurut Septi Dewi Cahaya, dokter hewan di Pusat Suaka Elang Jawa TNGHS, Salaka diambil dari seorang pemburu di Sukabumi lima bulan lalu. TNGHS lalu merehabilitasinya untuk memulihkan kembali insting liar mereka untuk mengarungi hidup di alam terbuka.

Salaka adalah elang jantan berusia 1,5 tahun. Perkiraan usia ini terlihat dari warna mata yang kuning, bulu yang cokelat, dan bulu kaki yang sudah tidak putih lagi. Bayi elang Jawa saat menetas berwarna putih.

Bagi elang Jawa jantan, usia 1,5 tahun sudah dianggap dewasa. Artinya ia siap bereproduksi. Sementara elang Jawa betina baru bisa berproduksi jika berusia 2-6 tahun. Itu kenapa pasangan elang Jawa yang monogami bisa langsung terihat beda mana betina mana jantan: ukuran tubuh betina lebih besar dibanding jantan.

Elang Jawa dikenal secara global dengan nama Javan Hawk-eagle. Spesies elang endemik Pulau Jawa ini pertama kali dideskripsikan oleh Stresseman pada 1924 sebagai Spizaetus bartelsi.

Satwa ini elang Jawa termasuk hewan yang dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 tahun 2019. Elang Jawa identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.

Elang Jawa memiliki ukuran tubuh antara 60-70 sentimeter. Warna bulu pada kepala cokelat kemerahan dengan jambul tersusun 2-4 helai. Habitatnya di hutan hujan primer dan elang ini tersebar di pulau Jawa.

Kepala Balai TNGHS Ahmad Munawir mengatakan pelepasliaran elang setelah rehabilitasi adalah upaya konservasi untuk menyeimbangkan ekosistem. Elang adalah top predator, keberadaannya menjadi indikator kelestarian alam karena menyeimbangkan populasi yang ada di bawahnya.

Pada 2021, Pusat Suaka Satwa Elang Jawa melepas 14 ekor Elang. Pada tahun ini, hingga Februari sudah ada tiga elang yang dilepasliarkan. "Masih ada 25 ekor elang yang menjalani rehabilitasi, semoga tahun ini bisa lebih banyak yang kami lepasliarkan," kata Munawir.

Sementara elang brontok merupakan hasil penyerahan masyarakat secara sukarela ke Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta. Pada 6 Februari 2021, Yayasan tersebut menyerahkan elang brontok ke Pusat Suaka Elang Jawa di Loji.

Pada saat penyerahan Wibisono dalam keadaan sehat namun perilakunya jinak dan belum mampu berburu mangsa. "Setelah menjalani masa karantina dan pelatihan selama 12 bulan, dia siap hidup di alam liar," kata Staf Pusat Suaka Elang Jawa, Mawardi.

Kesiapan elang dilepaskan berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan perilaku terbang, bertengger, berburu mangsa. Selama proses rehabilitasi elang ini diberikan pakan hidup seperti marmot, tikus dan mencit.

Wibisono, elang brontok yang dilepaskan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, 27 Februari 2022 (Foto: Dok. TNGHS)

Elang brontok disebut juga Changeable Hawk Eagle karena hidupnya berada dalam tiga fase, yaitu fase terang, peralihan, dan gelap. Memiliki panjang tubuh sekitar 57-79 sentimeter, habitat elang brontok berada di hutan lembab tropis.

Biasanya mereka ditemukan di perbatasan hutan perkampungan dan perkebunan teh. Daerah persebarannya ada di Jawa, Kalimantan dan Sumatera.

Keberadaan elang Jawa atau elang brontok menunjukkan kesehatan sebuah ekosistem. Jika hutannya baik, satwa liar juga akan betah tinggal di dalamnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Penggerak @Sustainableathome

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain