Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Maret 2022

PBB: 5 Bahaya Krisis Iklim Bagi Indonesia

Laporan IPCC terbaru menyebut ada lima bahaya krisis iklim bagi Indonesia. Mengerikan.

Deforestasi dan kehilangan hutan di Kalimantan Barat membuat banjir Sintang (Foto: Greenpeace Indonesia)

INTERGOVERNMENTAL Panel of Climate Crisis (IPCC) selesai menganalisis pelbagai dampak dan bahaya krisis iklim bagi Indonesia dan rilis pada 28 Februari 2022. Meski laporan ini mencakup skala global, IPCC menyebut secara khusus dampak pemanasan global bagi Indonesia.

IPCC adalah panel para ahli lintas ilmu yang berada di bawah PBB. IPCC dibagi ke dalam grup kerja. Penyusun laporan peringatan dampak krisis iklim adalah working group 2. Dampak krisis iklim bagi Indonesia mencakup kerugian ekonomi, ekologi, dan sosial.

Konstruksi Kayu

Ada lima dampak krisis iklim terhadap ekosistem, keragaman hayati, serta manusia dalam skala global dan regional. Berikut ini 5 dampak krisis iklim bagi Indonesia:

Pertama, suhu bumi yang naik akan mengurangi kemampuan bertahan hidup manusia. Berdasarkan laporan, Indonesia akan mengalami peningkatan suhu sebesar 30-330C di seluruh wilayahnya jika pengurangan emisi karbon tidak dilakukan. Hal itu berdasarkan perhitungan dari sistem wet-blub globe temperature (WBGT), pengukuran suhu berbasis panas dan kelembaban.

Pada standar WBGT, rentang 30-330 Celsius merupakan suhu yang memiliki risiko tinggi bagi pekerja. Karena itu kenaikan suhu lingkungan akan mempengaruhi produktivitas manusia yang akan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi.

Suhu udara yang panas akan membuat pekerja luar ruangan seperti petani, nelayan, dan pekerja konstruksi akan kesulitan menyelesaikan pekerjaannya. Begitu pun pekerja dalam ruangan yang mungkin kehilangan konsentrasi akibat pendingin ruangannya tidak cukup untuk membuat suhu yang ideal.

Kenaikan suhu juga akan berkorelasi pada kebutuhan listrik untuk mendinginkan ruangan. Jika listrik masih memakai energi fosil, pemakaian AC akan melepaskan emisi yang sangat besar. Padahal emisi adalah penyebab utama pemanasan global.

Artinya, lingkaran setan krisis iklim akan menaikkan dampak dan bahaya jika mitigasi berjalan lambat.

Pengukuran lain untuk panas dan kelembaban, yang juga digunakan dalam laporan ini adalah, indeks panas atau heat index. Skor panas Indonesia sebesar 40,6. Ini angka yang tergolong berbahaya, bahkan untuk orang dewasa yang bugar dan sehat. Skor heat index maksimal Jakarta saat ini 37.

Berdasarkan kajian yang sama, jika penurunan emisi global hanya sejumlah yang dijanjikan saat ini, Jakarta akan mengalami 7 hari per tahun berada di atas suhu 40,6C di akhir abad ini, dan skor heat index maksimal akan meningkat menjadi 42,3

Kedua, kenaikan permukaan laut. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang, Indonesia sangat rentan terhadap bencana ini. Sebagian wilayah Indonesia akan tenggelam secara berkala akibat erosi garis pantai. Sebanyak 20 juta orang yang tinggal di pesisir akan merasakan rob berkepanjangan. Akibat lain adalah ancaman pada panen hasil pertanian akibat intrusi air laut yang membuat tanah menjadi asin.

Laporan IPCC menegaskan bahwa tinggi muka air laut akan naik sebesar 44-76 sentimeter jika penurunan emisi masih mengacu pada Perjanjian Paris. Padahal, penurunan emisi sekarang masih jauh dari Perjanjian Paris. Jika penurunan emisi bisa dipercepat sebelum 2030, peningkatan tinggi muka air laut bisa terkendali 28-55 sentimeter.

Percepatan pengurangan emisi itu bisa berarti penghematan biaya untuk menangani bencana. Kerusakan akibat peningkatan tinggi muka air laut diperkirakan mencapai Rp 46 triliun. Sebaliknya jika penurunan emisi sesuai Perjanjian Paris biaya membengkak menjadi Rp 140 triliun. Angka ini akan makin bertambah Rp 1-5 triliun per tahun jika lapisan es tidak stabil akibat pemanasan global.

Jika penurunan emisi bisa dipercepat, biaya itu bisa digunakan untuk usaha mitigasi krisis iklim.

Ketiga, produksi pangan terganggu. Keuntungan negara tropis adalah mendapatkan matahari secara terus menerus. Indonesia memiliki potensi besar menjadi sumber pangan dunia dengan kegiatan pertanian. Krisis iklim akan mengganggu produksi pangan akibat suhu tinggi dan cuaca ekstrem.

Secara global kekeringan, gelombang panas, dan banjir bisa merusak tanaman pangan. IPCC memperkirakan faktor tersebut akan merusak pertanian Indonesia. Produksi beras akan turun 6% tanpa usaha lebih. Tapi dengan usaha lebih pun penurunan tetap terjadi sebesar 2%.

Tak hanya sektor pertanian, sektor perikanan pun akan terkena dampaknya. Dengan suhu yang panas, 99% terumbu karang di Asia Tenggara akan mengalami pemutihan. Akibatnya, ikan akan terganggu yang menyebabkan sektor perikanan tangkap Indonesia menurun 24%.

Keempat, kehancuran ekonomi. Tiga dampak di atas sangat berkaitan dengan sektor ekonomi. Krisis iklim akan menurunkan 23% pendapatan rata-rata global. Posisi dengan pendapatan rata-rata Indonesia 85% lebih rendah pada 2100. Untuk saat ini saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah berada di titik 15 persen lebih rendah tanpa pemanasan global sejak 1991.

Krisis iklim membuat kapasitas tenaga kerja di Indonesia mungkin menurun 40% jika kebijakan energi saat ini dipertahankan dan suhu bumi memanas sekitar 4C atau 20% jika emisi dikurangi lebih cepat dan pemanasan dibatasi kenaikannya menjadi 2C.

Kelima, Indonesia akan terkena dampak kejadian ekstrem perubahan iklim yang terjadi di mana-mana. Dampak kejadian perubahan iklim yang telah disebutkan di atas akan mengganggu hubungan antar negara dalam perdagangan. Sebagai contoh banjir di Kanada mengganggu kegiatan ekspor gandum sehingga negara di Asia akan sulit mendapat pasok gandum.

Dampak lain adalah meningkatnya potensi konflik akibat ancaman pasokan pangan dan ketersediaan air. Penduduk miskin akan kesulitan mendapatkan pangan dan air sehingga akan menimbulkan keresahan sosial yang dapat berujung menjadi konflik bersenjata.

Banjir di Thailand pada 2011 menghambat industri semi konduktor membuat industri global turun 2,5% dan harga hard disk naik 80-190%.

Ketua IPCC Hoesung Lee mengatakan bahwa laporan ini menuntut urgensi tindakan segera dan lebih ambisius untuk mengatasi risiko iklim. “Setengah langkah bukan lagi pilihan,” ujarnya.

Lee menyorot peran negara, dunia usaha, dan individu. Menurut Lee, kekuatan alam tak hanya berdampak besar, tapi juga berpotensi besar mengembalikan bumi sebagai planet yang layak dihuni terbebas dari ancaman mengerikan krisis iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain