Kabar Baru| 02 Maret 2022
Kredit Plastik untuk Mengurangi Sampah
SAMPAH menjadi problem serius mitigasi krisis iklim. Selain emisi pemakaian energi, emisi sampah menjadi problem besar karena gas metana yang dihasilkannya. Kini ada kredit plastik, cara baru mengurangi emisi sampah secara menguntungkan bagi produsen maupun jasa daur ulang.
Apa itu kredit plastik atau plastic credit? Skema ini dikembangkan oleh Verra, sebuah organisasi lingkungan yang berpusat di Washington, D.C., Amerika Serikat. Skemanya mirip kredit karbon yang muncul dalam Konferensi Iklim 1997 di Kyoto, Jepang.
Dalam Protokol Kyoto skema kredit karbon adalah membayar emisi melalui jasa penyerapannya. Industri yang mengeluarkan emisi bisa membeli jasa penyerapan emisi di tempat lain dengan satuan ton karbon setara karbon dioksida (CO2). Harganya bisa mengacu pada pasar karbon internasional atau melalui kesepakatan pengemisi maupun penyerapnya.
Kedua belah pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk memverifikasi jasa penyerapannya agar sesuai dengan jumlah emisi yang dikeluarkan pihak pembeli. Sebab, penyerapan karbon membutuhkan standar ilmiah yang disepakati mengingat komoditas yang dihitung berupa gas yang tak terlihat. Skema ini kemudian dikenal sebagai pasar karbon sukarela atau voluntary carbon market.
Kredit plastik mirip dengan kredit karbon. Tiap satu ton plastik yang diproduksi atau dilepas produsen ke pasar akan ditebus dengan upaya pihak lain yang mendaurulangnya dalam jumlah sama. Dengan cara ini, jumlah plastik yang diproduksi produsen tak akan berubah menjadi sampah yang menghasilkan gas metana dan menjadi penyebab krisis iklim.
Sebab, krisis iklim terjadi akibat konsentrasi gas rumah kaca berlebih di atmosfer. Hingga 28 Februari 2022, jumlahnya 418,7 part per million. Salah satu gas yang kuat menyebabkan pemanasan global adalah metana, yang berasal dari limbah. Metana 25-30 kali lebih kuat menyebabkan pemanasan bumi dibanding karbon dioksida. Karena itu pemerintah Indonesia harus menyediakan Rp 180 triliun untuk mengurangi 0,38% metana hingga 2030.
Untuk mencegah emisi menjadi penyebab krisis iklim ia harus dicegah sebelum mencapai atmosfer. Salah satunya diserap. Atau kini “dipetik” dengan teknologi “pemetik emisi”. Kredit plastik bertujuan mencegah plastik menjadi sampah yang menghasilkan metana.
Pemerintah Indonesia tertarik pada skema kredit karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar webinar “Plastic Credit, Gagasan Baru Solusi Pengurangan Sampah Plastik” pada 24 Februari 2022 ketika memperingati Hari Peduli Sampah Nasional.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, Bahan Beracun Berbahaya Rosa Vivien Ratnawati mengatakan gagasan kredit plastik bisa menjadi solusi pengurangan sampah plastik. “Tidak sebatas fantasi,” katanya.
Skema kredit plastik, menurut Vivien, membutuhkan platform khusus agar produsen dan pendaurulang bisa bertransaksi. Sampah plastik yang berhasil dikumpulkan dan dicegah bocor ke lingkungan akan mendapat Waste Collection Credits (WCCs), sementara sampah plastik yang berhasil didaur ulang akan mendapat Waste Recyling Credits (WRCs).
Pembelinya adalah industri, baik industri hulu penghasil bijih atau produk plastik maupun industri hilir pengguna plastik, sebagai bagian dari tanggung jawab mereka dalam pencegahan dan pengendalian polusi plastik. “Pemerintah mendorong dengan kebijakan yang mewajibkan produsen mengurangi sampah plastik yang berasal dari produk dan kemasan produk,” kata dia.
Bentuk pengaturan tanggung jawab produsen plastik tertuang dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019. Aturan ini mewajibkan produsen membatasi timbunan sampah dan mendaur ulang sampah melalui penarikan kembali dan memanfaatkan kembali sampah.
Sama seperti kredit karbon, kredit plastik juga harus memiliki standar, syarat, dan regulasi yang ketat. Dengan ketiganya, kata Vivien, kredit plastik atau plastic credit akan menjadi solusi penanganan sampah yang saling menguntungkan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :