ADA berbagai bentuk greenwashing atau “pencucian hijau”. Tapi umumnya greenwashing adalah adalah kampanye palsu yang menggambarkan sebuah produk ramah lingkungan. Artinya, dalam praktiknya, greenwashing merusak lingkungan.
Istilah greenwashing dikemukakan oleh aktivis lingkungan Amerika Serikat Jay Westerveld pada 1986 ketika membahas kampanye soal menghemat pemakaian handuk yang berdampak kecil pada lingkungan sementara industri hotel menghabiskan banyak air dan memproduksi emisi. Dari sana, istilah greenwashing memiliki banyak cabang karena praktiknya kian beragam.
Dalam film “Seaspiracy”, sutradara Inggris Ali Tabrizi melacak label ramah lingkungan banyak perusahaan perikanan. Ternyata label tersebut diproduksi oleh sebuah organisasi lingkungan yang mendapatkan pendanaan dari industri perikanan besar yang mengeksploitasi laut secara berlebihan.
Seiring kampanye label hijau marak, greenwashing juga naik karena tuntutan pasar kini semakin kuat mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Industri memanfaatkan keinginan konsumen ini dengan kampanye memakai produk hijau, padahal proses produksi mereka sendiri merusak lingkungan dan tinggi karbon.
Jadi, greenwashing adalah bentuk pemberian informasi yang tidak sesuai dengan fakta dengan mengklaim atau melebih-lebihkan tingkat keramahan lingkungan melalui iklan dan pemasaran. Alih-alih bertindak mengurangi dampak produk terhadap lingkungan, industri memanipulasinya melalui kampanye dan pemasaran.
Chenny Wongkar, Kepada Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesia Center for Environtment Law (ICEL) menerangkan setidaknya ada enam ciri praktik greenwashing di dunia:
- Melakukan perdagangan tersembunyi. Biasanya produk sebuah industri melalui proses ramah lingkungan berdasarkan satu aspek saja, aspek lainnya yang mendukung pembuatan produk dari hulu sampai hilir masih kotor,
- Klaim lingkungan yang tidak berdasar,
- Klaim lingkungan yang tidak jelas. Biasanya produk barang semacam ini memberikan banyak interpretasi kepada konsumen,
- Klaim lingkungan yang tidak relevan, misalnya suatu produk mengklaim tidak mengandung chlorofluorocarbons (CFC), gas rumah kaca paling tinggi menyebabkan krisis iklim, padahal memang CFC sudah dilarang sejak 1970,
- Mengklaim lebih tidak buruk dari dua yang hal yang buruk. Misalnya, suatu produk mengklaim lebih ramah lingkungan karena rendah CO2, padahal perhitungannya hanya di hulu dan hilirnya saja, tak memasukkan emisi karbon dioksida selama proses produksinya,
- Berbohong. Tidak ada produk yang tak menghasilkan emisi. Tapi industri yang melakukan greenwashing akan mengklaimnya tak memproduksi gas karbon dioksida sama sekali.
Menurut Chenny, greenwashing akan menimbulkan kebingungan dan menyesatkan konsumen sehingga konsumsi berkelanjutan yang rendah karbon akan terhambat. Dari studi ICEL tentang “Produk Hijau untuk Melindungi Konsumen dari Greenwashing” terlihat bahwa masih banyak klaim-klaim industri yang patut dipertanyakan tentang barang ramah lingkungan.
“Studi ini untuk menambah pengetahuan masyarakat dan melihat sampai mana studi praktik greenwashing di Indonesia,” kata Chenny dalam peluncuran studi produk greenwashing pada 1 Maret 2022.
Untuk mencegah praktik greenwashing, kata Chenny, regulasi mesti ketat. Sebab, konsumen akan cenderung tertipu dan terjebak karena ada kebutuhan dan keinginan menyumbang gaya hidup rendah karbo pada lingkungan.
Indonesia sudah memiliki pedoman produk rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang meneruskan konsumsi produk lestari dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) poin ke-12.
Regulasi saat ini, kata Chenny, belum secara gamblang membahas apa itu greenwashing sehingga perlindungan terhadap konsumen terhadap praktik palsu industri masih longgar. Menurut Chenny mesti ada “pengaturan yang membatasi penjabaran kriteria, hak konsumen, dan klaim lingkungan industri” untuk mengawasi dan mencegah praktik greenwashing di Indonesia.
Regulasi ini penting agar Indonesia tak terjebak pada solusi palsu mitigasi krisis iklim. Proses industri menjadi salah satu sektor yang akan diturunkan emisinya dalam dokumen nationally determined contribution pada 2030 yang menjadi bagian kebijakan menurunkan emisi 29% dari 2,87 miliar ton.
Mitigasi krisis iklim adalah agenda global mencegah pemanasan bumi melewati kenaikan suhu 1,50 Celsius yang akan menimbulkan banyak bencana. Salah satunya produksi dan konsumsi produk ramah lingkungan. Kebutuhan dan tuntutan ini acap diselewengkan oleh praktik greenwashing oleh industri yang tak punya komitmen melindungi bumi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :