Kabar Baru| 04 Maret 2022
Emisi Deforestasi Naik Dua Kali Lipat
HUTAN dunia sebenarnya cukup menyerap seluruh energi fosil tahunan pada tingkat sekarang dalam satu abad. Badan Pangan Dunia mencatat luas hutan hingga 2020 seluas 4,06 miliar hektare. Jumlah emisi yang bisa diserapnya setara 861 miliar ton karbon dioksida (CO2). Masalahnya, emisi deforestasi terus naik dari tahun ke tahun.
Sejak 2000, awal abad 21, tutupan hutan telah hilang sebanyak 10%. Deforestasi ini membuat emisi menguap ke atmosfer. Karena itu deforestasi menjadi penyebab utama krisis iklim akibat pemanasan global.
Studi terbaru di jurnal Nature Sustainability menyebutkan bahwa emisi karbon yang terpompa ke atmosfer lima tahun terakhir dua kali lipat dibanding lima tahun pertama abad 21.
Ini perhitungan di hutan-hutan tropis saja: Amazon, cekungan Kongo, dan Indonesia. Memakai satelit resolusi tinggi, studi yang dipimpin Yu Feng dari Universitas Hong Kong, menemukan bahwa rata-rata emisi yang terlepas akibat deforestasi hutan tropis sebanyak 0,14-1,39 miliar ton per tahun.
Karbon yang terlepas paling banyak (70%) berasal dari biomassa tumbuhan bawah, akar 20%, dan sisanya dari batang dan cabang. Artinya, emisi yang terlepas tak semata akibat deforestasi penebangan, tapi pembersihan lahan sehingga bukan hanya tutupan hutan yang hilang, melainkan hutan beserta seluruh keragaman hayatinya.
Pada 2001-2005 rata-rata pelepasan emisi akibat deforestasi hutan tropis sebesar 0,16-0,97 miliar ton. Sementara pada 2015-2019 emisi deforestasi sebesar 0,13-1,99 miliar ton. Artinya, laju deforestasi kian meningkat dalam dua dekade terakhir.
“Deforestasi dan kehilangan karbon hutan semakin cepat. Ada jurang pemisah besar antara tempat yang ingin kita tuju dan tujuan kita, yang benar-benar mengkhawatirkan,” kata Dominick Spracklen, profesor di School of Earth and Environment di University of Leeds, Inggris, yang ikut menulis studi ini kepada Guardian.
Temuan ini sekaligus menunjukkan pelbagai kesepakatan menghentikan deforestasi bual-bual belaka. Pada 2014, misalnya, ada Kesepakatan New York mengurangi separuh deforestasi hingga 2020. Temuan para ahli di jurnal Nature Sustainability menunjukkan kegagalan kesepakatan itu.
Dalam Konferensi Iklim COP26 Glasgow tahun lalu, 142 negara (mencakup 90% hutan dunia) kembali berikrar menghentikan deforestasi 2030. Jika melihat tren ini, deforestasi terlihat belum mendapatkan hadangan serius dari banyak negara.
Setelah deklarasi yang diikuti Indonesia itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya malah membuat pernyataan bahwa deforestasi tak akan menghalangi pembangunan besar-besaran di era Jokowi. Pernyataan ini mengherankan karena bertentangan dengan janji presiden saat turut menandatangani deklarasi stop deforestasi di hadapan dunia.
Pembangunan adalah momok perlindungan hutan. Menurut Yu Feng dkk di jurnal Nature Sustainability, penyebab deforestasi naik dalam lima tahun terakhir adalah pertanian dan konversi lahan untuk tujuan nonkehutanan. Satelit menunjukkan hutan terbuka akibat penggundulan pada 2001 masih sama bentuknya pada 2020.
Sektor lain yang menjadi penyebab deforestasi adalah peternakan sapi, kelapa sawit, kedelai, kakao, karet, dan kopi adalah penyebab utama hilangnya hutan tropis.
Pada Senin lalu, IPCC melaporkan bahwa kerusakan iklim semakin cepat dan dampaknya akan lebih parah dari yang diperkirakan studi-studi sebelumnya. Akibatnya, peluang tersisa untuk menghindari kerusakan terburuknya makin sempit.
Karena karbon yang terlepas lebih banyak dari tumbuhan bawah, temuan studi Yu Feng itu juga membuktikan bahwa deforestasi berasal dari hutan alam. Hutan primer biasanya memiliki struktur hutan yang kompleks, dari tumbuhan bawah hingga tutupan kanopi hutan dari pohon-pohon besar.
Kehilangan hutan primer amat berbahaya karena deforestasi menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang kaya, yang bisa menyerap dan menyimpan emisi dari energi fosil dan pelbagai aktivitas manusia.
Ketika hutan alam berubah menjadi pertanian, emisi deforestasi tak tergantikan. Bahkan jika hutan alam berubah menjadi konsesi tanaman hutan industri dan perkebunan kelapa sawit, karbon yang diserapnya tak akan sebanding dengan serapan karbon oleh hutan primer yang memiliki strata lengkap.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :