BIROKSASI acap digambarkan sebagai bangunan rigid yang berbelit-belit. Ada meja dan pintu yang harus didatangi untuk mendapatkan izin ini-itu. Meskipun ada juga gambaran sebaliknya tentang baju safari yang gagah, mobil pelat merah dan jabatan yang prestisus. Gambaran lama ini menerbitkan pertanyaan: bisakah inovasi berkembang di sebuah birokrasi negara yang hierarkis?
Menurut Max Weber, sosiolog Jerman, birokrasi adalah organisasi formal yang wewenangnya berbentuk hierarki dengan dasar-dasar yang rasional untuk mengatur alur sebuah proses. Alur dan hierarki itu yang membuat birokrasi terkesan berbelit-belit, tidak tangkas, kurang terampil. Pendeknya: lamban.
Karena itu birokrasi perlu inovasi, dalam arti memberikan solusi pada problem-problem di masyarakat, untuk mengenyahkan kelambanan itu. Apalagi di Indonesia, birokrasi ditempatkan dalam ruang yang penting mengatur soal-soal publik. Masalahnya, jika hierarkis dan lamban, mungkinkah birokrasi menciptakan inovasi?
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo, yang 30 tahun meneliti tata kelola, menjelaskan mengapa inovasi dalam birokrasi seperti menemukan jarum di tumpukan jerami. Menurut dia, penyebab inovasi kurang berkembang atau terhambat di birokrasi adalah pola rasional-legal yang memang melekat pada sistem ini.
Pola pikir rasional-legal membuat birokrat terikat pada teks peraturan. Ukuran kinerja seorang birokrat mesti tunduk pada aturan, ditopang pula oleh hukum dalam pemberian sanksi. Akibat bekerja tak berangkat dari masalah di lapangan, solusi birokrasi pun hanya taat azas. Padahal, aturan dibuat melalui logika perumus kebijakan, yang terbatas dan terikat waktu, dan kemungkinan tak berangkat dari fakta-fakta lapangan.
Tak mengherankan jika birokrasi selalu mengalami krisis kolaborasi, antar divisi, antara direktorat atau antar lembaga. Struktur birokrasi yang lahir terlebih dulu daripada struktur masalah di lapangan, menurut Hariadi, juga menjadi penghambat inovasi.
Hariadi menawarkan jalan keluar dari kemacetan birokrasi ini melalui deregulasi dan debirokratisasi, yakni dengan menyadarkan pola kerja pada hasil berbasis fakta lapangan, bukan serapan anggaran seperti selama ini terjadi.
Penyebab lain inovasi macet di birorkasi adalah adanya silo thinking atau primordialisme pola kerja. Pemisahan “kita” dan “mereka” membuat sebuah divisi menunggu pekerjaan divisi lain atau menganggap pekerjaan divisi lain bukan bagian dari pekerjaan mereka. Mental silo biasanya terjadi sebuah organisasi yang besar.
Hariadi mencontohkan proyek lumbung pangan atau food estate yang hendak dikerjakan oleh birokrasi negara. Menurut dia, proyek ini berpotensi gagal implementasinya berhadapan dengan alam dan manusia yang menerima dampak dan manfaat secara total (kepentingan, rasio, emosi, kebutuhan).
Ada juga benturan antara birokrasi berdasarkan tim kerja versus sains berdasarkan tim kerja. Karena birokrasi bergerak dengan alur atasan-bawahan, perlu kombinasi saintifik yang bergerak ke ragam disiplin tanpa hierarki ini.
Maka kerja sama tim dalam birokrasi semestinya bukan diukur dari jumlah rapat, tapi hasil. Ini akan mendorong kolaborasi kinerja jika masuk dalam kunci indikator kinerja.
Hariadi mencontohkan penggabungan indikator kinerja Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi, Direktorat Pemulihan Ekosistem, dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasil yang diukur berupa inventarisasi dan verifikasi keanekaragaman hayati tinggi di dalam dan di luar kawasan konservasi.
Hasil ini bukan outcome karena masih perlu diteruskan menjadi tindakan untuk menyelesaikan masalah konservasi di lapangan. Format seperti ini perlu dikembangkan untuk bidang lain. Di bidang perhutanan sosial sudah ada kolaborasi tugas pertimbangan teknis lokasi dengan tugas persetujuannya yang berbeda direktorat jendal. Kolaborasi ini perlu disambungkan dengan tugas pengembangan ekonomi untuk mewujudkan join kinerja.
Birokrasi pemerintah tidak tergantikan, meski pelaksanaannya bisa dijalankan oleh swasta, mesin, teknologi. Birokrasi, kata Hariadi, ada bukan untuk melayani birokrasi itu sendiri yang sibuk dengan anggaran dan administrasi. Birokrasi ada karena ada kebutuhan outcome untuk menyelesaikan problem di masyarakat.
Maka, perencanaan harus didasarkan oleh pengetahuan lapangan, yang khas dan unik karena masalahnya beda-beda. Konsekuensinya, kata Hariadi, pengembangan sumber daya manusia dalam birokrasi bukan hanya menambah pengetahuan dan kecakapan individu melalui pelatihan. “Juga memperbaiki struktur, sistem kerja, atau insentif yang mendorong kecakapan individu,” kata dia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :