AKHIR-akhir ini ini sering terjadi angin cukup kencang yang melanda di wilayah-wilayah Jawa Barat. Secara tidak langsung, peristiwa itu menimbulkan kerusakan infrastruktur seperti tiang listrik roboh atau rumah warga yang hancur. Lantas apa penyebab kejadian angin kencang ini?
Secara alamiah angin terbentuk karena adanya ketidakseimbangan gaya-gaya di atmosfer akibat gaya-gaya yang saling berinteraksi. Untuk mengkompensasi gaya-gaya itu, udara bergerak menuju kesetimbangan kembali. Pergerakan itu yang menimbulkan angin.
Mudahnya, angin adalah gerak horizontal udara relatif terhadap permukaan bumi. Aliran udara horizontal ini dipengaruhi oleh gaya gradien tekanan. Gaya itu timbul akibat perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perbedaan suhu.
Perbedaan suhu itu diakibatkan oleh perbedaan ekosistem tiap permukaan bumi (lautan atau daratan) yang menerima energi radiasi dengan laju pemanasan berbeda antara tempat satu dengan tempat lain. Maka, udara yang berada pada daerah yang bersuhu tinggi akan mengembang dan bergerak menjauh dari permukaan bumi sehingga tekanannya lebih rendah dari daerah sekitarnya. Perbedaan tekanan itu yang menimbulkan angin.
Angin kencang yang melanda Jawa Barat, menurut penjelasan Stasiun Klimatologi Bogor kepada Forest Digest pada 7 Maret 2022, disebabkan pola angin konvergensi di provinsi ini. Pola angin konvergensi adalah pola yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin. Kondisi ini dapat menyebabkan pertumbuhan awan hujan pada suatu wilayah.
Pola angin konvergensi itu juga didukung oleh kondisi atmosfer yang masuk dalam kategori labilitas kuat. Akibat labilitas itu, pemanasan pada pagi menjelang siang akan memicu terbentuknya awan konvektif seperti kumulonimbus (Cumulonimbus).
Cumulonimbus adalah tipe awan yang berkembang secara vertikal. Awan ini dihasilkan oleh kantong udara hangat dan lembab yang masih mampu naik sampai ketinggian yang melewati batas kondensasi (pengkristalan uap air). Kondisi konvergensi yang terjadi mendukung kecepatan awan ini matang sehingga sangat potensial terjadi hujan es dan angin kencang pada siang hari.
Hujan es dan angin kencang secara umum terjadi pada periode transisi angin dari Asia ke Australia menuju Australia ke Asia.
Transisi angin yang bergerak dari Asia ke Australia ini biasa dikenal dengan sebutan angin muson barat atau monsun barat. Sebaliknya angin dari Australia ke Asia disebut monsun timur. Angin monsun barat lebih banyak mengandung uap air dibanding monsun timur.
Transisi angin itu yang menandai mulai datang periode hujan rendah atau musim kemarau di sebagian wilayah Jawa Barat. Maka dapat diprediksi waktu Indonesia akan memasuki musim kemarau jika fenomena perubahan iklim tidak mempengaruhinya.
Kini perubahan iklim menjadi sebab tak alamiah dari pergerakan angin. Kenaikan suhu bumi membuat angin menjadi lebih kencang karena perbedaan tekanan akibat perbedaan suhu yang membentuk angin puting beliung hingga tornado.
Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi mencatat frekuensi angin puting beliung naik 3,5 kali lipat sejak gejala alam ini pertama terdeteksi pada 1997. Badai termasuk ke dalam gejala hidrometeorologi yang terpengaruh oleh iklim.
Karena itu banjir, badai, kekeringanan, suhu panas acap digolongkan ke dalam bencana hirometeorologi yang diakibatkan krisis iklim. Krisis iklim berupa kenaikan suhu bumi terjadi akibat jumlah gas rumah kaca berlebih di atmosfer.
Gas rumah kaca, selain terjadi secara alamiah, kini lebih banyak diproduksi oleh manusia, melalui pembakaran energi fosil, aktivitas pembukaan lahan, penggundulan hutan. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga 5 Maret 2022 sebanyak 418,6 part per million.
Karena itu cara terbaik mencegah krisis iklim adalah menurunkan emisi gas rumah kaca dengan menekan produksi emisi karbon. Saat ini emisi karbon global sebanyak 51 miliar ton setara CO2 setahun. Jika ingin mencegah kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,50 Celsius dunia harus menekan produksi setengah emisi yang ada sekarang sehingga level gas rumah kaca di atmosfer bisa kembali turun pada level aman, 350 ppm.
Jika kita gagal mencegah pemanasan bumi, pelbagai bencana siap menerkam kita di masa mendatang, termasuk angin kencang, puting beliung, kekeringann yang mempengaruhi ketahanan pangan. Laporan IPCC pekan lalu menyebut ada lima dampak buruk akibat krisis iklim terhadap Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :