PENCABUTAN izin usaha kehutanan, perkebunan, dan tambang baru-baru ini bisa kita anggap sebagai tindakan yang seharusnya memang dilakukan pemerintah. Yang penting diperhatikan adalah kemungkinan ada masalah, termasuk proses alokasi hutan atau lahan setelah izin usaha itu dicabut. Soalnya proses ini sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan tidak ada kebijakan alokasi hutan dan lahan berdasarkan mekanisme pasar, seperti lelang.
Dasar aturan yang dipakai pemerintah untuk mencabut izin usaha hutan alam dan hutan tanaman adalah pasal 361 dan pasal 368 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 8 Tahun 2021. Dalam peraturan ini sanksi administratif ditetapkan berdasarkan penilaian kinerja, evaluasi internal maupun evaluasi atas laporan pengaduan masyarakat, yang dinilai oleh sebuah tim.
Tim bekerja mengevaluasi, termasuk pemeriksaan lapangan izin-izin usaha tersebut. Tim itu beranggotakan staf direktorat jenderal yang membidangi urusan pengelolaan hutan lestari di KLHK, dinas di provinsi, Unit Pelaksana Teknis, pengawas kehutanan, dan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Dari informasi yang saya dapatkan, tim ini sudah bekerja sejak awal 2021.
Untuk mencabut persetujuan pelepasan kawasan hutan, pemerintah memakai pasal 530 dan 298, Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021. Permohonan pelepasan kawasan hutan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau keputusan pelepasan kawasan hutan dan jangka waktu persetujuan prinsip telah berakhir dan tidak diperpanjang serta belum adanya tata batas dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, ada koordinasi antara Menteri LHK, Menteri Agraria dan Tata Ruang, dan Menteri Pertanian, guna mengevaluasi pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan pertanian. Hasilnya bisa dipakai untuk mencabut persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk usaha pertanian.
Pencabutan izin tidak dilakukan seketika. Ada izin yang masih menunggu evaluasi. Jumlahnya pun cukup besar.
Dari izin usaha di hutan alam sebanyak 255 unit seluas 18,6 juta hektare, yang sudah dan siap dicabut berjumlah 25 unit dengan luas sekitar 1,27 juta hektare. Sedangkan potensial dicabut sebanyak 11 unit seluas sekitar 423 ribu hektare.
Untuk hutan tanaman ada 298 unit dengan luas konsesi 11.312.589,70 hektare. Yang sudah dan siap dicabut berjumlah 46 unit seluas sekitar 790 ribu hektare dan yang potensial untuk dicabut sebanyak 25 unit seluas sekitar 20.000 hektare.
Dari data hingga akhir tahun lalu, jumlah pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit secara nasional sebanyak 588 unit dengan luas areal pelepasan sekitar 5,9 juta hektare. Dari jumlah itu yang siap dicabut sebanyak 97 unit dengan luas sekitar 29,6 ribu hektare dan yang potensial dicabut sebanyak 72 unit dengan luas sekitar 1,1 juta hektare.
Selain itu ada pula 21 unit dengan areal kerja seluas sekitar 252 ribu hektare yang sedang melakukan proses pelepasan kawasan hutan, tapi bermasalah karena tidak sesuai dengan persetujuan prinsip pemerintah daerah.
Dalam proses pencabutan izin tersebut, Presiden melalui keputusan Nomor 1 Tahun 2022 telah membentuk satuan tugas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Satgas ini diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM. Tugas satgas antara lain memetakan pemanfaatan lahan bagi kegiatan pertambangan, perkebunan dan kehutanan sebagai akibat dari pencabutan izinnya secara berkeadilan, dengan, antara lain, memberi kesempatan bagi usaha baru.
Saya punya beberapa catatan untuk kebijakan ini. Pertama, perlu kejelasan kebijakan afirmatif untuk memastikan masyarakat adat dan lokal mendapat alokasi lahan. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya ketimpangan alokasi manfaat hutan dan lahan saat ini. Untuk itu, pemetaan sosial di lokasi sekitar konsesi yang dicabut menjadi perlu agar bisa dipastikan kebenaran subyek dan obyek hutan/lahan yang dialokasikan tersebut.
Di sini—terutama dari pengalaman perhutanan sosial—sangat penting peran organisasi masyarakat sipil sebagai pendamping. Sejauh ini, pemerintah maupun pemerintah daerah belum cukup punya kapasitas melakukannya.
Untuk mewujudkannya, dalam jangka pendek, tolok ukur pembangunan secara agregat seperti efisiensi dan pertumbuhan ekonomi perlu dinomorduakan. Pertama-tama adalah mewujudkan keadilan sosial melalui cara berpikir yang benar-benar berasal dari pemahaman substansial atas kondisi masyarakat di lapangan, yakni ketimpangan.
Kedua, perlu penguatan integrasi kebijakan antar kementerian atau lembaga yaitu KLHK, Kementerian ATR, dan Kementerian Dalam Negeri. Sesuai kewenangannya, KLHK bisa membatalkan pelepasan kawasan hutan, ATR/BPN bisa mencabut hak guna usaha, dan Kemendagri bisa memastikan pemerintah daerah mengambil peran sebagai pengelola di lapangan, melalui KPH.
Ketiga lembaga itu perlu menyelesaikan problem masyarakat adat terlebih dahulu jika ada mereka di dalam konsesi, di dalam maupun di luar kawasan hutan negara. Sayangnya tugas satgas tidak secara eksplisit akan menjalankan tugas seperti ini.
Kita punya pengalaman alokasi pemanfaatan hutan sejak tahun 1980-an, yang berakhir dengan ketimpangan alokasi manfaat hutan, yakni 94% untuk usaha besar dan hanya 6% untuk masyarakat lokal dan adat. Keputusan presiden itu juga berpotensi menghasilkan ketimpangan alokasi seperti itu, karena tidak ada ketetapan cara pengambilan keputusan menyelesaikan ketimpangan ini.
Dari pengalaman implementasi Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 mengenai penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan kita tahu rendahnya kapasitas pelaksanaannya di lapangan. Untuk menghindari konflik hutan/lahan atas perizinan yang telah dicabut, yang juga sedang terjadi di dalam lokasi-lokasi izin yang akan dicabut, perlu integrasi kerja empat kelompok tim: pengukuhan, penyelesaian konflik ,dan pengembangan ekonomi bagi masyarakat adat dan lokal lainnya.
Ketiga, perlu penugasan kepada pemberi izin untuk melakukan pengawasan terhadap lokasi-lokasi izin yang sudah dan akan dicabut. Lokasi-lokasi ini sebaiknya ditetapkan sebagai status quo. Ini perlu guna mencegah eksploitasi dengan motif “hit and run” terhadap sumber daya alam yang belum jelas status penguasaannya. Sayangnya, isi Perpres Nomor 1/2022 juga tidak menyentuh persoalan ini.
Hal ini sekaligus menjadi pelajaran bahwa percepatan pemberian izin melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya akan kisruh jika kemampuan lembaga negara dalam mengontrol pelaksanaan izin usaha sangat rendah.
Dalam praktiknya, lemahnya kontrol perizinan ini bukan semata-mata karena rendahnya anggaran dan terbatasnya sumber daya manusia, juga akibat tingginya konflik kepentingan. Dengan begitu, standar kegiatan yang bisa mengakomodasi kepentingan sosial dan perlindungan fungsi lingkungan bisa dengan mudah diabaikan. Ini adalah bibit korupsi institusional, yaitu korupsi dengan cara merusak atau menghalangi fungsi lembaga negara.
Keempat, pencabutan izin dan realokasi sumber daya alam jutaan hektare ini kemungkinan berlangsung lama. Mengingat sumber daya alam sudah tidak lagi ideal dan prosesnya akan melibatkan transaksi banyak kepentingan, mitigasi untuk menegah korupsi sangat diperlukan.
Keterbukaan informasi bagi publik, identifikasi pemilik manfaat (beneficiary ownership) untuk menghindari alokasi sumber daya alam secara terus-menerus kepada kelompok usaha besar tertentu serta potensi konflik kepentingan dalam realokasi sumber daya alam harus menjadi perhatian.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :