Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 April 2022

Nilai Kejahatan Lingkungan Rp 4.074 triliun

Kejahatan lingkungan masuk tiga besar setelah narkotika dan peredaran barang palsu. Lintas negara.

Kebakaran hutan di Jambi (Foto: Asep Ayat/FD)

NILAI kejahatan lingkungan jauh lebih besar dibanding biaya pertumbuhan ekonomi secara global. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, nilai kejahatan lingkungan secara global mencapai US$ 281 miliar atau Rp 4.074 triliun.

Tak jelas rujukan perhitungan yang disampaikan Sri Mulyani. Dalam PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta pada 31 Maret 2021, Sri mengatakan bahwa kejahatan lingkungan masuk dalam tiga besar kejahatan global. Ujungnya adalah pencucian uang dan pembiayaan gelap (illicit financing).

Konstruksi Kayu

Peringkat pertama kejahatan global adalah perdagangan narkotika. Nilainya, kata Sri, mencapai US$ 344 miliar. Lalu produksi dan perdagangan barang-barang palsu dengan total uang yang berputar mencapai US$ 288 miliar.

Uang yang dihasilkan dari aktivitas merusak lingkungan, kata Sri, jauh lebih cepat dan besar dari pertumbuhan ekonomi dunia yang berkisar 4-7%. “Ini kejahatan borderless,” katanya. “Biasanya illegal fishing, illegal logging, dan lain-lain dilakukan di negara A, penadahnya di negara B, dijual, dan profitnya dicuci di negara C.”

Sri Mulyani tak memerinci jenis-jenis kejahatan lingkungan yang bernilai besar. Sebab, di luar yang ilegal, para ahli telah mencium dan merumuskan perusakan yang terstruktur melalui hukum. Para ahli menyebutnya state capture corruption.

Kejahatan ini legal secara hukum karena dilakukan berdasarkan undang-undang dan peraturan. Perusahaan kayu, industri energi fosil, hingga perkebunan, perikanan, peternakan, dan pertanian kini menjadi problem serius lingkungan karena melepaskan gas rumah kaca penyebab krisis iklim.

Sektor-sektor yang dikelola tidak secara berkelanjutan membuat krisis iklim semakin cepat datang. Kehilangan hutan akibat deforestasi dan degradasi membuat gas rumah kaca yang terbentuk oleh proses ekonomi dan aktivitas manusia—yang legal maupun ilegal—memicu pemanasan global.

Akibatnya, dunia kini sibuk membuat mitigasi krisis iklim untuk mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850. Biaya mencegahnya tak sedikit. Dengan target menurunkan emisi 29-41% pada 2030, Indonesia setidaknya butuh biaya Rp 3.779 triliun.

Dampak kerusakan lingkungan, yang legal maupun ilegal, ditanggung oleh seisi planet. Pemakaian energi fosil untuk menopang industrialisasi di negara maju membuat kerusakan lingkungan di negara berkembang kian masif. Para aktivis menyebutnya sebagai ketidakdilan iklim.

Apalagi kegiatan ilegal merusak lingkungan. Menurut Sri Mulyani, negara tempat kegiatan ilegal itu akan mengalami kerusakan lingkungan, sementara uangnya akan mengalir ke negara lain untuk dicuci melalui sektor keuangan formal maupun non formal.

Untuk menghentikan kegiatan tersebut, kata Sri, industri keuangan perlu mengenal lebih dekat nasabah dan pelanggannya. “Kalau pencucian uang dilakukan dalam sektor keuangan, praktik dalam sektor keuangan mengenai KYC (know your customer) sangat penting dan menjadi standar untuk kegiatan di bidang lingkungan,” kata dia.

Sri menekankan pentingnya tiga aspek dalam kegiatan pembiayaan keuangan. “Kegiatan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan, sosial, dan tidak melanggar good governance,” katanya.

Baru-baru ini sebuah penelitian melansir biaya publik yang menghancurkan lingkungan mencapai Rp 26.100 triliun atau US$ 1,8 triliun. Ini biaya untuk menghidupkan ekonomi melalui subsidi dana publik tapi berakibat pada krisis iklim. Para ahli menyebutnya environmental harmful subsidies (EHS). 

Subsidi melalui kebijakan per tahun yang merusak bumi

Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan IMF yang menghitung dana subsidi untuk perusakan lingkungan sebanyak US$ 5,4 triliun. Nilai ini mencakup biaya eksternalitas, atau ongkos lingkungan dari kerugian ekonomi akibat kebijakan dan praktik bisnis yang tidak berkelanjutan.

Kerugian EHS, menurut perhitungan The B Team dan Business for Nature sebagian besar dinikmati oleh industri energi fosil, pertanian tak berkelanjutan, dan industri air. Sisanya perikanan, kehutanan, transportasi, dan konstruksi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain