Kabar Baru| 02 April 2022
Hutan Hilang Seiring Kenaikan Harga CPO
PERKEBUNAN kelapa sawit menjadi momok pengelolaan hutan di Indonesia. Sebuah studi di jurnal PLOS One—jurnal tinjauan sejawat—edisi 29 Maret 2022 makin mengukuhkan dugaan selama ini bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab deforestasi.
Studi yang dipimpin David Gaveau dari TheTreeMap, lembaga pemantau deforestasi hutan tropis dari Prancis, menghubungkan hilangnya tutupan hutan dengan harga CPO atau minyak sawit mentah.
Memakai citra satelit, David dan enam peneliti lain menganalisis perubahan tutupan hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa-Maluku, dan Papua pada 2001-2019. Mereka menemukan bahwa laju deforestasi turun di bawah tingkat sebelum 2004 pada 2017-2019.
Ketika grafik deforestasi dan kehilangan tutupan hutan itu digabungkan dengan harga CPO terlihat korelasi dan perkawinannya. Grafik deforestasi naik dan turun seiring dengan naik-turunnya harga CPO di pasar dunia.
Deforestasi yang turun pada 2017-2019 itu juga seiring dengan turunnya harga CPO, dari US$ 600 per ton turun mendekati US$ 500, harga yang hampir menyentuh nilai CPO pada 2004. Dalam kurun waktu studi, kehilangan tutupan hutan paling tinggi terjadi pada 2012 yang mencapai lebih dari 750.000 hektare.
Deforestasi turun pada 2013, naik menjelang 2014, turun sedikit pada 2015, lalu melesat lagi pada 2016. Pada tahun-tahun itu harga CPO juga naik. Harga CPO pada 2011 tembus US$ 1.206 lalu turun menjadi US$ 999 pada tahun berikutnya. Kebakaran hebat yang menghanguskan hutan seluas 2,5 juta hektare pada 2015 diikuti oleh kenaikan harga CPO pada 2016 meski turun lagi di tahun berikutnya.
Dengan melihat tren itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit selalu dipengaruhi oleh harga CPO. Industri diduga menaikkan kapasitas perkebunan kelapa sawit mereka untuk mengejar cuan besar mumpung harga tinggi.
Apakah ekspansi itu memakai izin baru atau perluasan di izin lama dalam konsesi? Timer Manurung, Direktur Yayasan Auriga yang menjadi narasumber dalam studi itu, mengatakan penelitian ini hanya melihat perubahan tutupan hutan, bukan berdasarkan izin. “Izin lama atau baru, poinnya adalah tutupan hutan, tidak terlalu melihat izin,” katanya.
Total perkebunan kelapa sawit yang terpantau satelit mencapai 16,24 juta hektare, 64% merupakan merupakan luas kebun sawit yang dimiliki perusahaan, sisanya petani. Luas pantauan satelit ini lebih banyak dibanding data resmi pemerintah berdasarkan laporan perusahaan dan pengakuan petani, yakni 14,72 juta hektare. Para peneliti memperkirakan 3,13 juta hektare perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan.
Selama 2001-2019, luas perkebunan kelapa sawit bertambah 8,48 juta hektare, 6,19 juta hektare milik industri besar dan sisanya petani. Total hutan yang hilang selama periode itu mencapai 9,79 juta hektare, termasuk 3,09 juta hektare yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan 2,85 juta hektare yang dibuka lalu menjadi perkebunan sawit di tahun yang sama.
Perkebunan industri kelapa sawit membuka hutan lebih banyak dibanding petani. Perusahaan sawit membuka 2,13 juta hektare hutan sementara petani 720.000 hektare. Perluasan hutan tanaman industri dan hilangnya hutan berkorelasi dengan harga minyak sawit.
Para peneliti menghitung penurunan harga CPO sebesar 1% berkorelasi dengan 1,08% penurunan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan 0,68% hilangnya hutan. “Harga minyak sawit meningkat dua kali lipat sejak awal pandemi Covid-19, regulasi yang efektif adalah kunci untuk meminimalkan konversi hutan di masa depan,” kata David Gaveau.
Harga CPO merangkak naik sejak akhir tahun lalu. Pada 1 April 2022, harganya tembus US$ 1.369 per ton. Kenaikan ini memicu ekspor CPO naik yang mengakibatkan pasokan minyak goreng lokal langka. Naiknya ekspor CPO menaikkan pendapatan devisa dan pungutan ekspor. Namun, pungutan ekspor itu dikembalikan kepada pengusaha dalam bentuk subsidi biodiesel.
Sejak 2015, Indonesia memberikan insentif kepada pengusaha sawit yang mau menjual minyak sawit untuk campuran solar B30. Kesediaan itu memakai subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
B30 adalah upaya pemerintah mengurangi pemakaian solar yang memproduksi emisi besar. Dengan memakai minyak nabati, emisi diharapkan berkurang. Menurut Timer Manurung, karena ada subsidi, ekspansi perkebunan kelapa sawit akan naik jika produksi biodiesel juga dipompa atas nama pengurangan emisi.
Dengan melihat korelasi hilangnya tutupan hutan dengan kenaikan harga CPO bukan tidak mungkin akan ada perluasan perkebunan kelapa sawit yang berarti hilangnya tutupan hutan di masa pandemi ini. “Masih terlalu dini mengatakan pandemi ini titik balik ekspansi kelapa sawit menjadi kurang sensitif terhadap perubahan harga CPO,” kata Arild Angelsen, profesor ekonomi di Norwegian University of Life Sciences, salah satu penulis studi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :