MENTERI Keuangan Sri Mulyani membatalkan pemberlakuan pajak karbon yang rencananya mulai 1 April 2022 menjadi 1 Juli 2022. Bagaimana nasib perdagangan karbon?
Perdagangan karbon akan dimulai dari sektor energi. Berbarengan dengan pemberlakuan pajak karbon, perdagangan emisi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memakai batu bara juga seharusnya 1 April 2022. “Setahu saya ditunda,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdana. “Karena belum lengkap regulasinya.”
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menguji coba perdagangan karbon antar PLTU tahun lalu. Uji coba itu dianggap berhasil sehingga Kementerian menetapkan perdagangan karbon dimulai 1 April.
Ada tiga skema dalam perdagangan karbon sektor energi: cap and trade, carbon off set, dan pajak karbon. Cap and trade berupa transaksi emisi dari PLTU yang melebihi batas emisi yang ditetapkan oleh Kementerian kepada PLTU yang produksi emisinya lebih rendah dari batas tersebut.
Carbon off set berupa kredit karbon, yakni pembayaran emisi tersisa kepada pihak lain yang menyediakan penyerapannya, seperti perlindungan hutan atau ekosistem. Jika sebuah PLTU masih menyisakan emisi dari kelebihan batas tersebut, sisanya bisa membayar pajak karbon.
Tarif pajak karbon sebesar Rp 30.000 per ton setara CO2. Tarif ini adalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR saat membahas Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tahun lalu. Tarif tersebut hanya setengahnya dari nilai yang diajukan pemerintah.
Akibat beban baru dalam produksi melalui pembayaran emisi dan pajak, PLTU batu bara didorong mengganti teknologi dengan mengkonsumsi energi terbarukan. Di sisi lain, pengguna energi bersih mendapatkan insentif karena jasa mereka tak mengotori atmosfer bumi.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, penundaan pemberlakuan pajak karbon yang berimbas pada perdagangan karbon sektor energi karena pemerintah masih menyiapkan regulasinya. Peta jalan pajak karbon, kata dia, perlu sinkron dengan peta jalan pasar karbon domestik.
Dua aturan yang disiapkan adalah turunan Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon (NEK). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menggodok Peraturan Menteri LHK tentang tata laksana NEK dan tata laksana NDC.
NDC adalah nationally determined contribution atau kontribusi nasional yang ditetapkan. Dalam proposal NDC Indonesia ke PBB di Konferensi Iklim COP26 di Glasgow tahun lalu, Indonesia hendak menurunkan emisi 29-41% pada 2030 dari perkiraan emisi 2,87 miliar ton setara CO2 berdasarkan perhitungan emisi 2010.
Jika dunia hendak menahan laju pemanasan bumi, jumlah emisi yang sekarang 53 miliar ton setahun harus dipangkas sebanyak 45%. Masalahnya, menurut PBB, dari proposal 182 negara yang mengajukan NDC, akumulasi penurunan emisi seluruh negara hanya setara pemangkasan 25%.
Penurunan emisi itu disebut sebagai mitigasi krisis iklim. Sebagai negara tropis, dengan hutan luas sebagai penyerap emisi, Indonesia hendak berkontribusi menahan laju pemanasan bumi di bawah 1,50 Celsius. Ini batas kenaikan suhu bumi akibat pemanasan global yang disepakati di sidang PBB. Jika dunia gagal menahan laju pada batas itu, pelbagai bencana iklim akan menghembalang planet bumi.
Salah satu cara menurunkannya melalui perdagangan karbon. Tapi para ahli mengkhawatirkan tarif dan harganya yang terlalu rendah. Karena jasa penyerapan emisi bisa dijual separuhnya ke luar negeri, perdagangan karbon akan jadi arena baru pencucian hijau atau greenwashing: negara kaya dan industri alih-alih mengurangi emisi mereka secara drastic akan lebih senang membeli penyerapannya ke negara-negara tropis seperti Indonesia.
Di dalam negeri, pengenaan pajak karbon dan perdagangan karbon juga bisa memicu inflasi karena ada beban baru dalam produksi barang. Pengenaan pajak akan masuk dalam biaya produksi yang ujungnya akan menjadi beban masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah membaca gelagat itu. Menurut dia, pemerintah mesti menyiapkan seperangkat aturan secara lengkap agar pajak maupun perdagangan karbon tak mendisrupsi ekonomi Indonesia yang sedang memulihkannya akibat pandemi Covid-19.
Febrio Kacaribu menambahkan bahwa perdagangan karbon maupun pajak karbon merupakan upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan prinsip pencemar membayar. Ia memastikan pajak karbon yang berlaku akan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat, memenuhi asas keadilan dan terjangkau.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :