Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 April 2022

Berakhirnya Era “Fast Fashion”

Orang Eropa rata-rata membuang 11 kilogram pakaian, sepatu, dan barang kain lainnya setiap tahun. Uni Eropa hendak menghentikan “fast fashion” pada 2030.

Uni Eropa akan menerapkan aturan ramah lingkungan untuk menyetop industri mode fast fashion (Ilustrasi: Piki Superstar/Freepik)

DI era krisis iklim, mode menjadi penyumbang pemanasan global. Mode yang cepat berganti atau “fast fashion” membuat pakaian segera menjadi sampah merusak lingkungan, kebutuhan mengeruk sumber daya alam kian besar. Pengambilan bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga sampah akhirnya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menjadi pemicu krisis iklim.

Untuk mencegah siklus itu kian buruk, Komisi Eropa menargetkan mengakhiri “mode cepat” atau fast fashion pada 2030—tahun penentuan manusia bisa mencegah kenaikan suhu bumi atau tidak. Badan eksekutif Uni Eropa ini akan memperluas aturan desain ramah lingkungan untuk berbagai produk, dimulai dengan tekstil.

“Produk yang kita gunakan setiap hari harus tahan lama,” kata Frans Timmermans, wakil presiden Komisi Eropa, seperti dikutip The Guardian, 30 Maret 2022. Jika produk rusak, kata dia, produk tersebut harus bisa diperbaiki. “Pakaian yang kita pakai harus tahan lebih lama dari tiga kali pencucian dan juga harus dapat didaur ulang,” Timmermans melanjutkan.

Mode cepat atau fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bisnis produksi pakaian massal yang mengikuti tren baru dengan biaya produksi rendah. Untuk menekan harga tersebut, produsen biasanya menciptakan pakaian yang hanya bisa dipakai beberapa kali saja. 

Akibatnya, banyak dari pakaian ini masuk kategori “tidak layak pakai” setelah beberapa kali digunakan. Pakaian-pakaian ini kemudian berakhir di tempat pembuangan akhir sampah. Bahkan mesin cuci adalah sumber mikroplastik di laut.

Dampak mengerikan dari fast fashion ini bisa dilihat di kota Accra Ghana, tempat tumpukan sampah impor dari Eropa berakhir. Sebanyak 60% dari gunungan sampah tersebut merupakan sampah mode cepat. Hal yang sama juga terjadi di Gurun Atacama, Chili.

Mode cepat biasanya menggunakan bahan dasar polyester dan serat sintetis karena biayanya jauh lebih murah. Padahal, pakaian dari serat sintetis atau yang diolah dengan bahan kimia paling tidak membutuhkan 200 tahun untuk terurai. Sampahnya, sama beracunnya dengan ban atau plastik bekas. 

Komisioner lingkungan Uni Eropa, Virginijus Sinkevičius, mengatakan bahwa mereka ingin mode cepat segera berakhir. “Pada 2030 tekstil di pasar Uni Eropa harus berumur panjang dan dapat didaur ulang, dibuat sebagian besar dari serat daur ulang.”

Dia optimistis konsumen akan membuang kebiasaan tampil dengan mode terkini. “Pakaian tak perlu dibuang dan diganti sesering mungkin seperti sekarang. Ini alternatif yang menarik untuk mode cepat,” katanya. Meski demikian, masih belum jelas seberapa jauh rencana tersebut akan mengubah industri mode. Keputusan untuk aturan tersebut belum final.

Rata-rata orang Eropa membuang 11 kilogram pakaian, sepatu, dan barang-barang kain lainnya setiap tahun. Tekstil adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar keempat, setelah makanan, perumahan dan transportasi, serta mengonsumsi sejumlah besar air dan bahan mentah.

Limbah pabrik tekstil juga acap menjadi pencemar sungai. Sumber limbah sungai Citarum di Jawa Barat berasal dari ribuan pabrik di sepanjang sungai yang berhulu di Cisanti dan bermuara di laut Jawa ini.

Jika proposal pengakhiran fast fashion mulai berlaku, mereka dapat memiliki dampak besar di seluruh dunia, karena hampir tiga perempat pakaian dan tekstil rumah tangga yang dikonsumsi di UE diimpor dari tempat lain.

Aturan desain ramah lingkungan Uni Eropa itu juga akan menetapkan standar efisiensi energi untuk sejumlah barang konsumsi, seperti pemanggang roti dan mesin cuci, serta mencakup daya tahan dan daur ulang di masa mendatang.

Produsen mungkin harus menggunakan sejumlah konten daur ulang dalam barang mereka, atau membatasi penggunaan bahan yang membuatnya sulit untuk didaur ulang. 

Komisi Eropa lewat aturan ini juga ingin melarang praktik pengiriman barang yang tidak terjual ke TPA. Kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan produk yang tidak terjual yang dikirim ke tempat pembuangan sampah akan menjadi “disinsentif reputasi yang sangat efektif.”

Ada aturan untuk menindak budaya membuang. Proposal aturan desain ramah lingkungan itu merupakan bagian dari rencana “ekonomi sirkuler” Uni Eropa, yang bertujuan untuk meringankan jejak ekologi Eropa pada sumber daya alam dunia.

Nusa Urbancic, direktur LSM Changing Markets Foundation, mengatakan industri fast fashion terlalu lama lepas dari “prinsip pencemar membayar”. “Merek-merek terkenal membuat kami terpesona dengan sejumlah besar pakaian murah yang tidak dirancang untuk bertahan lama, tetapi mereka tidak membayar tumpukan sampah yang dibuang, termasuk di negara berkembang. Itu salah dan kemungkinan sekarang akan berubah, mengikuti pengumuman hari ini, ”katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain