PEMERINTAH memutuskan penundaan pajak karbon dari 1 April ke 1 Juli 2022. Alasannya, regulasi belum siap karena Indonesia sedang memulihkan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir pajak karbon akan memicu inflasi.
Menurut Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak alasan tersebut janggal. “Menteri Keuangan punya barisan orang-orang yang bisa mempersiapkan aturan turunan sesuai target,” kata Leonard pada Sabtu, 2 April 2022. Apalagi, kata dia, perencanaan penerapan pajak karbon terbilang sudah matang.
Pajak karbon merupakan salah satu dari tiga skema pemerintah menurunkan emisi karbon sebanyak 29-41% dari perkiraan emisi 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Hal ini dilakukan untuk ikut mencegah kenaikan suhu bumi 1,50 Celsius dibanding suhu bumi pada masa sebelum Revolusi Industri.
Penerapan pajak karbon bertujuan membatasi para pelaku usaha menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi. Jika para pelaku usaha menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang ditetapkan pemerintah, mereka harus membayar pajak karbon.
Tarifnya Rp 30.000 per ton setara CO2. Angka ini, menurut Leonard, memang terlalu rendah. “Seharusnya Rp 75 ribu per ton setara CO2 seperti yang diajukan pemerintah,” katanya. Tetapi, kata dia, meski pajak karbon terbilang rendah, Langkah yang pro lingkungan ini perlu diapresiasi. “Kenapa sekarang malah ditunda?” katanya.
Skema lainnya adalah perdagangan karbon melalui cap and trade dan off set. Cap and trade atau batasi dan perdagangan. Produsen emisi yang jumlah gas rumah kacanya melebihi batas yang ditetapkan pemerintah harus membeli hak mengemisi pihak lain. Jika masih ada sisa emisi harus membelinya melalui carbon off set atau karbon kredit.
Cap and trade dan carbon off set adalah dua skema perdagangan karbon yang diatur Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon. Satu skema lagi adalah result based payment yang mirip off set, yakni pembelian jasa penyerapan karbon kepada pihak lain.
Menurut Leonard, pajak karbon lebih mudah dan efektif ketimbang perdagangan karbon. Pajak karbon memberikan disinsentif kepada PLTU batu bara yang selama ini dimanjakan dengan subsidi pemerintah. “Insentif pajak karbon itu bisa diberikan kepada pembangkit listrik energi baru terbarukan,” kata dia.
Sementara dalam skema perdagangan karbon cap and trade, menurut Leonard, efektivitasnya sulit tercapai. Sebab, produsen emisi hanya membeli hak dari produsen lain yang emisinya tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah. “Pada akhirnya mereka tidak mengurangi produksi emisi atau beralih ke energi baru terbarukan,” kata dia.
Masalahnya, tarif pajak karbon yang rendah juga tak akan menjadi disinsentif bagi produsen emisi. Mereka akan cenderung membayar pajak saja ketimbang masuk ke dalam perdagangan karbon yang batas emisinya bisa terus ditekan untuk memaksa produsen emisi mengurangi produksi gas rumah kaca mereka.
Kombinasi pajak dan perdagangan karbon—dengan tarif dan harga yang tinggi—akan menjadi skema lumayan dalam mitigasi krisis iklim. Di negara lain tarif pajak karbon bisa mencapai Rp 1,5 juta per ton. Juga ada denda yang lebih tinggi lagi jika produsen emisi menolak ikut perdagangan karbon.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :