Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 April 2022

Harga Listrik Setelah Pajak Karbon

Seberapa besar pengaruh pajak karbon terhadap harga listrik? Saatnya pembangkit listrik menerapkan tanggung jawab publik.

Jaringan listrik (Foto: Analogicus/Pixabay)

PAJAK karbon memang batal berlaku 1 April 2022. Pemerintah belum siap dengan regulasinya sehingga diundur ke 1 Juli 2022. “Pajak karbon berlaku saat regulasi dan sektor ketenagalistrikan lebih siap,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam siaran pers awal bulan ini.

Selain regulasi, pajak karbon juga akan memicu inflasi akibat kenaikan harga-harga. Pajak karbon akan menambah biaya produksi listrik sehingga PLN atau produsen listrik akan membebankannya kepada konsumen melalui harga listrik. 

Konstruksi Kayu

Sejak tahun lalu, kekhawatiran kenaikan harga listrik ketika pajak karbon diterapkan sudah diungkapkan sejumlah pelaku industri. Jika PLN tak sanggup membeli listrik, PLN hanya memiliki dua pilihan, meminta bantuan pemerintah melalui subsidi atau menaikkan tarif dasar listrik.

Menurut Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, hitungan riil Pembangkit Listrik Tenaga Uap batu bara perlu dilihat lagi. “Biaya yang dikeluarkan listrik batu bara banyak yang hidden, terselubung dan ekstrem,” kata Leonard saat dihubungi, 2 April 2022. “Harga produksi relatif lebih rendah dari harga pasar.”

Leonard menekankan selama ini industri pembangkit listrik dari bahan bakar fosil mendapatkan subsidi pemerintah selama bertahun-tahun yang berakibat merusak lingkungan. Sementara belum ada mekanisme menghukum perusak lingkungan secara legal melalui mekanisme pasar.

Pajak karbon memakai prinsip polluters pay. Sekarang, kata Leo, saatnya pembangkit itu melakukan domestic market obiligation (DMO). “Mereka sudah menikmati profit besar, produksi mereka pasti dibeli PLN,” katanya.

Leonard yakin bahwa pembangkit listrik bahan bakar fosil masih mendapatkan profit, “hanya berkurang saja” ketika pajak karbon sudah berlaku. Sebab, harga akhir yang menanggung tetap konsumen. Namun, dengan pajak karbon, pemerintah bisa memaksa industri menurunkan emisinya dengan beralih ke teknologi ramah lingkungan.

Pajak karbon merupakan salah satu tiga skema pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29-41% dari perkiraan emisi 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Hal ini merupakan komitmen pemerintah untuk ikut mencegah kenaikan suhu bumi 1,50 Celsius dibanding suhu bumi pada masa sebelum Revolusi Industri.

Penerapan pajak karbon bertujuan membatasi para pelaku usaha menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi. Jika para pelaku usaha menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang ditetapkan pemerintah, maka mereka harus membayar pajak karbon.

Skema lainnya adalah perdagangan karbon melalui cap and trade dan off set. Cap and trade atau batasi dan perdagangan. Produsen emisi yang jumlah gas rumah kacanya melebihi batas yang ditetapkan pemerintah harus membeli hak mengemisi pihak lain. Jika masih ada sisa bisa melalui carbon off set.

Menurut Leonard, penerapan pajak karbon lebih mudah dan lebih efektif ketimbang perdagangan karbon. Meski harga pajak karbon yang ditetapkan terbilang rendah yaitu Rp 30 ribu per ton setara CO2, ketimbang harga yang diajukan pemerintah yaitu Rp 75 ribu per ton. “Tapi penerapan pajak karbon bisa menjadi faktor disinsentif serius industri bahan bakar fossil,” katanya.

Dia melanjutkan bahwa gambar besar dari pajak karbon adalah krisis iklim dan transisi energi. Idealnya pajak karbon digunakan sebagai insentif energi terbarukan. Adanya insentif bisa mendorong industri melakukan transisi ke energi bersih.

Kembali ke persoalan harga listrik, Leonard menyebutkan bahwa harga listrik naik atau tidak yang akan menentukan pemerintah. “Tinggal pemerintah mau berpihak kepada siapa. Sudah saatnya subsidi untuk bahan bakar fosil diakhiri,” katanya.

Saat ini, tarif keekonomian listrik adalah sekitar Rp 1.400 hingga Rp 1.500 per kWh. Bagi pelanggan yang termasuk kelompok masyarakat tidak mampu, tarif listrik disubsidi pemerintah sehingga pelanggan hanya membayar Rp 400 hingga Rp 600 per kWH. Bagi pelanggan listrik non subsidi, tarifnya ada di kisaran Rp 1.352 hingga Rp 1.644 per kWH.

Pada Januari lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana telah menyampaikan rencana pemerintah menaikkan tarif listrik non-subsidi pada kuartal ketiga tahun ini. Bila benar, kenaikan itu bersamaan dengan penerapan pajak karbon.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain