Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 April 2022

Andil Bank dalam Deforestasi

Bank turut serta menjadi penyebab deforestasi. Pendanaan terbesar untuk perkebunan kelapa sawit.

Pendanaan bank termasuk merisikokan htutan (Ilustrasi: Mohammed Hassan?Pixabay)

DEFORESTASI terjadi karena nilai hutan dianggap lebih rendah dibanding komoditas lain, seperti perkebunan, pertambangan, peternakan. Bisnis-bisnis besar ini padat modal. Karena itu ada peran bank dalam kehilangan tutupan hutan itu.

Transformasi untuk Keadilan Indonesia atau “TuK Indonesia” membuat riset yang menjelaskan pendanaan sebagai salah satu penyebab deforestasi. Riset ini merupakan tindak lanjut riset sebelumnya, yaitu “Taipan Kelapa Sawit”, yang menemukan deforestasi meningkat akibat penggelontoran dana kepada para taipan itu. 

Konstruksi Kayu

“Hal itu mendorong kami membuka data pendanaan bagi bisnis yang merisikokan hutan” kata Rahmawati Retnowinarni, koalisi Forests and Finance, TuK Indonesia pada 1 April 2022 di Hotel Hermitage, Jakarta Pusat.

Rahmawati menerangkan bahwa data ini terfokus untuk menilai deforestasi akibat pendanaan dari tiga hutan tropis terbesar di dunia yaitu Indonesia, Brazil, dan Kongo.

Metode yang digunakan untuk mengungkap data pendanaan itu adalah pengambilan data dari berbagai sumber. Data keuangan diperoleh dari Bloomberg, Refinitv, TradeFinanceAnalitics, IJGlobal, laporan perusahaan, publikasi perusahaan serta laporan media dan analisis pada rentang 2013-2020. “Selain itu kami juga menilai dari segi investasi yang dilihat dari data obligasi dan saham,” tambah Wiwin, panggilan akrab Rahmawati.

Dari lebih 300 perusahaan yang diteliti, hanya 230 perusahaan yang memiliki pembiayaan yang dapat diidentifikasi. “Kami juga menilai kebijakan bank serta investor terkait deforestasi dan masalah lingkungan sosial dan tata kelola,” terang Wiwin. Penilaian itu didasarkan pada perjanjian internasional dan praktik terbaik dalam komunitas bisnis global maupun sektor keuangan.

Hasil penelitian menunjukkan US$ 41,5 miliar dalam bentuk obligasi dan saham yang disalurkan investor secara global dapat merisikokan hutan. Risiko hutan berrasal dari beberapa sektor yaitu sawit, peternakan sapi, hutan tanaman industri pulp dan kertas, kebun karet, kedelai, dan kayu.

Sektor terbesar yang menyebabkan deforestasi pada tiga hutan tropis adalah peternakan sapi sebesar 27% berdasarkan data kredit (peminjam dana) dalam juta dolar pada tahun 2016. Sementara di Asia Tenggara, sawit penyebab terbesar deforestasi sebesar 50% berdasarkan kredit pada tahun yang sama. “Mirisnya berdasarkan tren kredit di Asia Tenggara, pemodal dana akan mengarah pada pendanaan yang merisikokan hutan,” kata Wiwin.

Data tersebut bisa dilihat pada laman Forests & Finance

Felia Salim, ekonom senior, mengatakan keterbukaan data terkait pendanaan yang merisikokan hutan sangat bermanfaat. Hal itu, kata dia, mendorong kreditor peduli terhadap lingkungan. “Perubahan iklim menjadi isu terpenting saat ini,” tambah dia 

Maka seharusnya, kata Felia, bank bisa menilai mana investasi yang rawan, mana yang tidak bagi lingkungan. Apalagi tren saat ini dan ke depannya mengarah pada investasi yang hijau. “Lembaga keuangan saat ini memang tidak bisa dipisahkan dari isu lingkungan,” terang Felia.

Dari sisi tata kelola perizinan, Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, menilai ada permasalahan dalam proses perizinan di Indonesia. Urusan perizinan bukan urusan perusahaan dan pemerintah saja, tetapi urusan publik karena menyangkut dampak sosial dan lingkungan 

Proses perizinan, kata dia, masih menggunakan prinsip inklusivitas yang tidak transparan untuk publik. Hariadi mengambil contoh dari sistem sertifikasi. Meski sudah lolos, perusahaan tersertifikasi belum tentu bebas dari masalah lapangan. Urusan sertifikasi adalah urusan administrasi.

Karena itu jika pendanaan bank masih tertutup untuk bisnis, akan sama halnya dengan administrasi. Jika bank hanya mengincar keuntungan dengan mendanai sebuah bisnis tanpa menimbang risikonya, bank itu seperti perusahaan sertifikasi. “Padahal ke depan tata kelola perizinan ini harus dikaitkan dengan investasi hijau,” kata Hariadi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain