BERBULAN-bulan minyak goreng langka, harganya mahal. Padahal, Indonesia punya perkebunan kelapa sawit terluas dan penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Usaha pemerintah mengendalikan harga minyak goreng tak sanggup melawan hukum besi pasar.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam kisruh minyak goreng di negeri yang kaya kebun sawit ini. Kesalahan terbesar pemerintah dalam membuka perkebunan sawit di Indonesia adalah tidak dikendalikannya luas kebun sawit yang dikuasai oleh pihak swasta maupun masyarakat yang tidak sebanding dengan kebun sawit rakyat apalagi pemerintah (Badan Usaha Milik Negara/BUMN).
Perusahaan swasta, mendominasi perkebunan sawit dengan lahan seluas 7,7 juta hektare atau 54% dari total luas lahan sawit di Indonesia. Pemindaian satelit The TreeMaps menemukan bahwa luas perkebunan kelapa sawit mencapai 16,8 juta hektare. Sawit yang dikelola BUMN hanya 5%.
Jika dilihat dari kinerja produksi, dari sekitar 45 juta ton, swasta memproduksi kelapa sawit sebanyak 51%, lalu perkebunan rakyat 33%, perkebunan negara 6%. Hampir separuh kebun kelapa sawit dikuasai oleh 25 konglomerat.
Telah terjadi akumulasi penguasaan modal dengan menyebabkan penguasaan lahan yang sangat besar. Secara legal formal, kebijakan membuka perkebunan sawit bagi pihak korporasi swasta adalah sah. Secara ekonomi, pemerintah juga mendapatkan pajak dan devisa dari ekspor.
Industri sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang. Dari statistik perekonomian, komoditas sawit berkontribusi 3,5% PDB, menurunkan inflasi 1,75% dan jumlah belanja negara 1,74%. Minyak Sawit juga membuat neraca perdagangan positif dan menjadi produk ekspor terbesar nonmigas.
Tahun 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai lebih dari US$ 20 miliar, meningkat 155% dibandingkan tahun lalu. Bagi Indonesia , minyak sawit adalah penyumbang devisa ekspor nonmigas terbesar senilai US$ 27,3 miliar selama Junuari-Oktober 2021.
Ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa terus meningkat meskipun ada upaya beberapa negara produsen minyak nabati untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit dari konsumsi mereka. CPO produk Indonesia merupakan komoditas andalan yang lagi naik daun. Surplus neraca perdagangan 2021 disumbangkan oleh 5 (lima) komoditas utama, setelah satu dekade negatif, yakni batu bara, CPO (minyak sawit) dan turunannya, besi dan baja, otomotif dan suku cadang (spare part) dan yang terakhir barang elektronik.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga memungut dana ekspor sawit yang digunakan untuk berbagai program antara lain peremajaan sawit rakyat (PSR), pengembangan dan penelitian, sarana dan prasarana, promosi dan kemitraan, pengembangan sumber daya manusia, serta biodiesel.
Masalahnya, BUMN hanya menguasai 5% kebun sawit. Mestinya bisa seimbang sehingga pasokan minyak goreng lokal terjamin. Argumen ini terdengar simplistis karena negara yang tak punya sawit saja harga minyak goreng terkendali dan pasokannya selalu ada. Urusannya memang tata kelola.
Dalam kasus Indonesia, BUMN mungkin bisa berperan lebih besar. Walau pun peran BUMN sebaiknya dikurangi untuk menarik peran negara dalam mekanisme pasar, dalam hal sawit mungkin sebaliknya.
Pertama, mengelola kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan yang tidak dapat diproses menjadi sawit legal setelah dikenakan denda dan sanksi administratif sesuai PP no. 23/2021. Dari 14,3 juta hektare, di antaranya adalah perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan seluas 3,1 juta hektare.
Dari jumlah itu, sekitar 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya sekitar 1,2-1,7 juta hektare terindikasi sawit masyarakat perorangan yang tidak dapat dilepaskan karena dasar hukumnya tidak kuat. Sisa luas kebun sawit 1,2-1,7 juta hektare inilah yang sebaiknya diserahkan kepada BUMN untuk dikelola dan dikembangkan menjadi kebun sawit yang berkelanjutan.
Kedua, untuk menambah luasan kebun sawit secara ekstensifikasi melalui pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang baru, prioritas utama harus diberikan kepada BUMN, sementara untuk pihak swasta disetop dulu karena kebun sawit yang sudah ada luasan dianggap lebih dari cukup.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020”, dari 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), 6,5 juta hektare yang tidak mempunyai tutupan hutan disiapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kegiatan pembangunan non kehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan, termasuk penambahan luas kebun sawit melalui program ekstensifikasi.
Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan stok dan harga minyak goreng di dalam negeri adalah salah satu contoh kebijakan hilir dalam rangkaian tata kelola sawit secara keseluruhan. Ketelanjuran penguasaan kebun sawit yang begitu besar dan dominan oleh pihak swasta, membuat ruang gerak pemerintah dalam membuat kebijakan di sektor hilir menjadi terbatas.
Dapat dimengerti apabila dalam tahun ini saja, untuk mengatasi isu minyak goreng, pemerintah mengeluarkan 11 kebijakan dalam rangka stabilisasi harga dan pasokan. Kendati kelangkaan pasokan tak lagi terjadi di sebagian pasar, namun harga tetap bertahan tinggi.
Seharusnya, pemerintah memberikan subsidi penuh kepada minyak goreng curah dan kemasan tanpa adanya pembedaan, agar harga minyak goreng di pasaran dapat ditekan sambil membenahi tata kelola sawit dari hulu sampai hilir. Kebijakan hilir yang diambil selama ini—termasuk memberikan bantuan tunai langsung—hanya bersifat parsial dan tidak menyentuh pada akar masalahnya.
Belajar dari negara Saudi Arabia yang merupakan negara terbesar penghasil minyak bumi dunia, meskipun harga minyak dunia telah menyentuh harga sampai di atas US$ 100 per barel, bukan berarti harga BBM di dalam negeri ikut menjadi naik, karena kebutuhan warganya untuk BBM disubsidi penuh oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Bisakah, atau haruskah, Indonesia menirunya dalam hal minyak goreng?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :