TAHUKAH Anda jika selama 20 tahun PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memakai skema take or pay dari pembangkit setrum swasta? Apa itu take or pay listrik?
Sesuai namanya take or pay adalah “ambil atau bayar denda”. Artinya, PLN tak punya pilihan terhadap setrum yang disediakan oleh penyedia listrik swasta yang disebut independent power producers (IPP). Dalam kondisi kekurangan listrik, skema ini memang diperlukan agar tak terjadi krisis energi.
Masalahnya, “take or pay” menjadi bumerang dan merugikan PLN jika perusahaan listrik negara ini kelebihan pasokan setrum, seperti sekarang. Menurut Deon Arinaldo, dari Program Transformasi Energi Institute for Essential Service Reform (IESR), kerugiannya tak hanya ekonomi tapi juga lingkungan.
Syahdan, menurut Deon, skema “take or pay” ditempuh PLN akibat krisis ekonomi 1998. Produksi listrik ikut langka. PLN kesulitan membangun pembangkit listrik baru karena tak punya uang. “Kebijakan take or pay untuk menarik investor dan pembangkit independen untuk membangun pembangkit dan membantu suplai listrik ke PLN,” kata Deon pada 12 April 2022 dalam Podcast di Atas Meja oleh Indonesia Corruption Watch.
Skemanya unik dan nyeleneh. PLN harus membeli listrik sesuai perjanjian awal. Misalnya, jika PLN membuat kontrak dengan satu pembangkit swasta membeli listrik 80 miliar watt, namun seiring waktu pasokan listrik membuat PLN hanya perlu 70 Gigawatt, perusahaan ini tetap harus membayar 80 Gigawatt.
Menurut Deon, kebijakan ini kebablasan hingga pemerintah membangun banyak pembangkit baru dalam program 35.000 megawatt listrik. “Sekarang PLN kebingungan menjual listrik,” kata Deon. Apalagi, di masa pandemi, permintaan listrik turun sehingga setrum PLN banyak tak terpakai.
Secara lingkungan, kebijakan take or pay juga mendorong penggunaan energi fosil dalam menciptakan listrik. “Karena kebanyakan yang memegang kontrak dari kebijakan ini adalah PLTU batu bara,” ujar Deon.
Dampak negatif PLTU batu bara tak hanya karena sumber dayanya akan habis dengan menghilangkan hutan, asap pembakarannya berbahaya bagi manusia. Ia mengutip penelitian Harvard yang memperkirakan kematian dini akibat PLTU batu bara di Indonesia mencapai 6.500 jiwa per tahun.
Karena itu, menurut Deon, pemerintah seharusnya merevisi kebijakan take or pay listrik agar bisa beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Saat ini, PLN dikategorikan sebagai perusahaan terbesar kedua di dunia yang memiliki aset terdampar mencapai US$ 15 miliar akibat penggunaan energi fosil. Kebijakan take or pay, PLN akan makin terpuruk ke depannya akibat kebijakan yang merugikan secara ekonomi dan lingkungan.
Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk memanfaatkan energi terbarukan. Kajian IESR tentang data energi terbarukan di Indonesia yang mengacu Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Menurut RUEN, data energi terbarukan di Indonesia hanya 443,2 Gigawatt. Setelah ISER mengkaji lagi dan menghitung ulang, angka energi terbarukan Indonesia bisa mencapai 7.879,43 Gigawatt.
Maka dari itu, kata Deon, transisi menuju energi terbarukan harus dilakukan saat ini dalam upaya menekan emisi sesuai kesepakatan NDC. Menurunkan emisi dalam sektor energi dari sekarang adalah langkah konkret mencicil pekerjaan rumah besar sektor energi dalam mengurangi emisi.
Salah satunya diawali dengan meninggalkan skema “take or pay” listrik.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :