NEGARA-negara anggota G20 telah menetapkan target nol emisi bersih pada 2060. Pembicaraan soal transisi energi fosil ke energi baru terbarukan, ekonomi hijau, alih teknologi akan menjadi isu-isu prioritas yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November mendatang. Salah satunya teknologi CCS. Apa itu?
CCS adalah cabon capture and storage atau penangkap dan penyimpan karbon atau penangkap, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Teknologi ini konon bisa mengurangi emisi global sebanyak 10%. Benarkah? Jika ya, ia menjadi jawaban atas lemahnya target penurunan emisi global untuk mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius akibat pemanasan global.
Apalagi laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terakhir pada awal bulan ini sudah memberikan peringatan sangat keras bahwa hanya ada peluang sangat kecil untuk mencegah kenaikan suhu bumi. Janji seluruh negara hanya bisa menurunkan 25% emisi yang seharusnya minimal 45% dari produksi emisi tahunan 53 miliar ton setara CO2 untuk mencegah bumi memanas dan mengakibatkan pelbagai bencana.
Menyetop emisi dari batubara dan tidak menambah infrastruktur yang menggunakan bahan bakar fosil adalah cara utama. Laporan IPCC itu juga menekankan perlunya teknologi untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer.
Masalahnya, sejumlah juru kampanye lingkungan menganggap teknologi CCS ini tidak terbukti dan tidak bisa dijadikan pengganti pengurangan emisi. Namun negara-negara G20 tetap akan mengembangkan teknologi ini mengikuti peta jalan Agensi Energi Internasional (IEA).
“Teknologi CCS/CCUS berkontribusi mengurangi emisi kumulatif secara global lebih dari 10 persen pada 2050,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji pada G20 event series: Making CCS/CCUS Affordable: Enabling CCUS Deployment in G20 and Beyond di Jakarta, 13 April 2022. Asia Tenggara memiliki target penangkapan karbon sebesar 35 ton setara CO2 pada 2030 dan lebih dari 200 ton setara CO2 pada 2050.
Tutuka menyebutkan Indonesia melihat CCS/CCUS memiliki peran ganda. Selain mendukung target penurunan emisi Indonesia, teknologi itu juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi (migas) melalui CO2-Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Enhanced Gas Recovery (EGR). "Gas bumi punya peran penting sebagai sumber energi transisi sebelum mencapai 100% pembangkit listrik dari energi terbarukan," katanya.
Karbon yang sudah ditangkap dan disimpan juga dapat digunakan untuk memproduksi methanol dan dapat diintegrasikan untuk produksi ammonia biru. Ammonia biru adalah ammonia yang diproses melalui tahapan CCS pada saat produksi H2, sehingga lebih ramah lingkungan. Bahan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar pembangkit atau sektor transportasi. Sementara metanol adalah alkohol kayu (CH3OH) yang dapat digunakan sebagai energi terbarukan, bahan bakar kelautan dan otomotif, serta sebagai sel bahan bakar.
Studi maupun proyek CCS/CCSUdi Indonesia tengah berjalan di beberapa wilayah kerja Migas, seperti Gundih, Sukowati dan Tangguh dengan total potensi simpanan CO2 sekitar 41 juta ton CO2. ”Semuanya masih dalam tahap studi atau persiapan, namun sebagian besar ditargetkan bisa onstream sebelum 2030," kata Tutuka.
Tutuka yakin dengan penerapan teknologi ini. Dia merujuk hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi yang menyebut Indonesia memiliki potensi penyimpanan sekitar 2 giga ton CO2 yang tersebar di beberapa wilayah, di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua. Dan potensi saline aquifer 9,68 giga ton CO2 dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Tutuka juga berharap adanya integrasi dan kolaborasi semua sektor melalui hub and clustering atau fasilitas bersama untuk menekan biaya.
Ketua kelompok kerja transisi energi G20, Yudo Dwinanda Priadi membenarkan soal biaya yang tinggi ini. Dia menyebutkan bahwa skenario CCUS di kawasan regional ASEAN membutuhkan investasi jumbo sebesar US$ 1 Miliar per tahun pada 2030. Untuk itu, perlu program terobosan guna menekan emisi CO2 global dari 40 juta ton menjadi 5,6 miliar ton dalam kurun waktu 30 tahun ke depan.
"Tantangan utama teknologi CCS/CCUS adalah membuat harganya lebih terjangkau. Biaya untuk menangkap CO2 akan menyumbang porsi terbesar sekitar 70-75% dari total biaya CCUS. Ini bervariasi tergantung pada struktur geologi lokal, kedekatan dengan kawasan industri, dan dukungan peraturan pada proyek percontohan CCUS," kata Yudo.
Menurut dia, harga CCS/CCUS harus dimasukkan ke dalam biaya produksi. “Jika langkah-langkah itu bisa dilakukan, setidaknya akan memungkinkan sektor migas dan juga sektor kelistrikan untuk menjalankan proyek CCUS dengan basis komersial," kata Yudho.
Kini pilihan ada di pemerintah: ikut memakai teknologi penangkap karbon atau CCS atau segera beralih ke energi terbarukan yang efektif memangkas emisi karbon.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :