Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 April 2022

Puncak Emisi 2025. Bisakah?

Anggaran karbon dunia makin menipis. Apa itu anggaran karbon?

Anggaran karbon adalah produksi emisi gas rumah kaca yang masih diizinkan karena tak memicu suhu bumi naik melebihi 1,5C. Pembakaran energi fosil dan peternakan adalah kombinasi maut produksi gas rumah kaca, sementara energi terbarukan terlalu kecil (Foto: Peggy Chouchair/Pixabay)

LAPORAN terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal April 2022 menyebutkan untuk mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850, dunia harus mencapai puncak emisi 2025 lalu menurunkannya 43% sebelum 2030. Artinya, anggaran karbon global semakin tipis. Apa itu anggaran karbon? 

Anggaran karbon adalah jumlah emisi setara karbon dioksida yang masih bisa dibuang ke atmosfer karena jumlahnya masih di bawah ambang batas gas rumah kaca yang menyebabkan suhu bumi naik di atas 1,5C. IPPC, misalnya, menyatakan untuk mencepai setengah peluang suhu bumi tak naik 1,5C pada 2100, dunia masih boleh mengemisi atmosfer sebanyak 500 miliar ton setara CO2 setelah 2020.

Konstruksi Kayu

Kenaikan 1,5C merupakan batas yang ditetapkan dalam Konferensi Iklim, terutama dalam Perjanjian Paris 2015. Para ilmuwan menyakini, jika kenaikan suhu bumi melewati 1,5C pada 2030, pelbagai bencana akan muncul, seperti badai, banjir, hujan tak menentu, panas, salju tebal, akibat musim yang berubah.

Untuk bisa mencapainya, dunia mesti menurunkan jumlah gas rumah kaca dari bumi. Anggaran karbon tahunan emisi global sebanyak 43 miliar ton setara CO2 setahun. Nyatanya, dunianya memproduksi emisi sebanyak 53 miliar ton setahun. Pandemi Covid-19 sejak 2019 yang menghentikan sebagian besar kegiatan manusia hanya menurunkan 7% emisi global.

Jika memakai perumpaan Bill Gates dalam How to Avoid a Climate Disaster, atmosfer bumi seperti bak besar. Kita terus menerus mengalirkan air ke dalamnya sehingga airnya luber dan seisi rumah kebanjiran. Air itu adalah emisi, bak itu adalah bumi dan kemampuan atmosfer menampungnya.

Kemampuan menampung air sama juga dengan kemampuan bumi menyerap emisi gas rumah kaca yang kita buat itu. Secara alamiah, gas rumah kaca terbentuk, tapi jumlahnya sangat sedikit. Gas rumah kaca melonjak jumlahnya karena aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil melalui transportasi atau pabrik, merusak laut, deforestasi, degradasi lahan, sampah, atau aktivitas lain yang merusak bumi.

Sebagai ekosistem, bumi memiliki penyerap emisi secara alamiah. Menurut Global Carbon Project, antara 2010-2019, ekosistem darat seperti hutan menyerap 12,5 miliar ton emisi setara CO2 setahun. Sementara laut hanya 9,2 miliar ton. Artinya, laut dan hutan hanya menyerap 40,9% emisi gas rumah kaca secara global. Ke mana sisanya? Mungkin ke atmosfer.

Gas yang lepas ke atmosfer ini yang menjadi penyebab krisis iklim karena menaikkan suhu bumi. Dari enam jenis gas rumah kaca, CO2 paling bertahan lama di atmosfer, bisa mencapai puluhan ribu tahun, dan jumlahnya paling banyak. Selama ribuan tahun, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebanyak 218 part per million. Kini jumlahnya mencapai 418,8 ppm.

Karena itu ada percobaan membuat teknologi pemetik CO2 di atmosfer. Tapi ini biayanya mahal. Menurut the Economist, biaya yang dibutuhkan mengambil CO2 dari udara sebanyak US$ 300-1.000 per ton. Maka jika 60% emisi yang terlepas ke atmosfer dalam setahun, biaya yang dibutuhkan kira-kira US$ 31,8 triliun setahun.

Maka seperti perumpamaan Bill Gates, ketimbang mengelap tetesan air luber, lebih baik mematikan kerannya agar emisi berhenti. Masalahnya, secara alamiah emisi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar IPB, menyitir kurva Kuznets berupa U terbalik dalam grafik sumbu X dan Y.

Kurva Kuznets

Jika sumbu X adalah pertumbuhan ekonomi, sumbu Y adalah kerusakan lingkungan. Maka sebelum mencapai puncak, kerusakan lingkungan akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Cermin pertumbuhan ekonomi adalah produk domestik bruto.

Di mana Indonesia? Produk domestik bruto Indonesia per kapita sudah melewati US$ 4.000 atau tepatnya US$ 4.349 atau berpenghasilan Rp 5,2 juta sebulan. Indonesia baru memasuki negara kelas menengah. Dalam UU Cipta Kerja, investasi akan didorong menghasilkan PDB per kapita Rp 27 juta per bulan. Artinya, merujuk teori Simon Kuznets, masih banyak emisi yang akan diproduksi Indonesia. 

Emisi masih bisa diproduksi tapi jumlahnya tak melebihi kemampuan bumi menyerapnya. Dalam mitigasi iklim kita menyebutnya net zero emission, yakni keadaan ketika daya serap bumi terhadap emisi jauh lebih besar dari pelepasannya ke atmosfer.

Jumlah emisi ideal agar suhu bumi tak naik 1,5C, menurut para ahli, sebesar 25 miliar ton setara CO2 setahun. Angka ini terus menurun seiring habisnya anggaran karbon akibat dunia mengulur-ulur mitigasi krisis iklim, berupa menurunkan emisi secara radikal dengan menyetop pemakaian energi fosil dan mencegah kerusakan alam.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain