SELAMA 2010-2019, ekosistem teresterial menyerap 12,5 miliar ton karbon setara CO2. Ekosistem teresterial termasuk hutan. Namun, jika diperbandingkan laut saja menyerap 9,2 miliar ton pada periode yang sama. Serapan karbon laut disebut karbon biru. Para ahli menyebut kemampuannya menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dibanding hutan daratan.
Ekosistem pesisir yang menyerap karbon biru terdiri dari mangrove, padang lamun, dan rawa payau. Mereka mampu menyerap karbon dari atmosfer dan lautan, lalu menyimpannya dalam bentuk biomassa.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luas mangrove di Indonesia mencapai 3.364.080 hektare. Luas ini merupakan 20,4% dari total luas mangrove dunia yang mencapai 16,53 juta hektare. Kandungan karbon yang bisa diserap mangrove mencapai 800-1.200 ton per hektare.
Dengan hitung-hitungan tersebut, potensi karbon biru pada ekosistem mangrove diperkirakan mencapai 3,14 miliar ton. “Karbon biru dari mangrove berpotensi mengurangi emisi tahunan sebesar 10-31% dari sektor FoLU,” kata Menteri Lingkungan Siti Nurbaya saat membuka Workshop Blue Carbon dalam pembangunan Blue Economy dan Pencapaian Target NDC pada 18 Maret 2022.
FoLU adalah Forest and Other Land Use atau kehutanan dan penggunaan lahan. Indonesia sudah menetapkan FOLU net sink pada 2030. Ia menjadi salah satu dari lima program mitigasi Indonesia untuk mencegah perubahan iklim.
Dari lima program itu, sektor kehutanan melalui FOLU Net Sink memiliki target terbesar pengurangan emisi seperti yang tertuang dalam NDC yaitu sebanyak 17,2% dalam skenario penurunan emisi 29% yang berasal dari usaha sendiri dan sebanyak 24,1% dalam skenario 41% atau dengan bantuan internasional
Siti Nurbaya berharap adanya optimalisasi potensi karbon biru. “Pengurangan emisi tahunan sebesar 10-31% dari karbon biru ini berpotensi mengakselerasi pencapaian komitmen Indonesia seperti yang tertuang dalam NDC,” kata Siti.
Potensi karbon biru dari ekosistem mangrove di Indonesia memang besar. Mengutip Alongi et. al. (2015), cadangan karbon mangrove Indonesia di atas tanah mencapai sebanyak 159,1 ton karbon per hektare, di bawah tanah sebanyak 16,7 ton karbon per hektare, sementara cadangan yang tersimpan di dalam tanah (soil pool) mencapai 774,7 ton karbon per hektare. Sehingga total cadangan karbon biru pada mangrove adalah 950,5 ton karbon per hektare.
Namun, ancaman terhadap keberadaan mangroves juga tidak kalah besar. Studi Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim KLHK menyebutkan tutupan mangrove di Indonesia diproyeksikan terus menurun.
Dalam skenario deforestasi bersih atau netto deforestation, tutupan lahan mangrove akan berkurang sebesar 12.818 hektare per tahun. Artinya, pada 2024 diperkirakan akan terjadi kehilangan mangrove sebesar 51.272 hektare dan pada 2030 sebesar 128.180 hektare. Skenario deforestasi bersih adalah deforestasi yang memperhitungkan keberhasilan kegiatan reforestasi dan aforestasi.
Sementara pada skenario deforestasi kotor atau skenario yang tak menghitung kegiatan reforestasi dan aforestasi, rata-rata penurunan tutupan lahan diperkirakan mencapai 26.114 hektare per tahun. Artinya, pada 2024 diperkirakan akan terjadi kehilangan mangrove sebesar 104.456 hektare dan pada 2030 sebesar 261.140 hektare.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono menjelaskan bahwa deforestasi terjadi karena tidak semua hutan mangrove yang ada di Indonesia berstatus kawasan hutan. “Ada yang di area APL (area penggunaan lain) yang sesuai dengan tata ruangnya,” kata Hartono.
Hartono menjelaskan bahwa KLHK tengah berusaha mengurangi deforestasi dengan membuat regulasi untuk mengatur kawasan mangrove. “Saat ini kami tidak punya regulasi untuk mangrove. Tidak seperti gambut, di mana ada kawasan gambut lindung dan gambut budidaya.”
Hartono menjelaskan bahwa sudah terjadi alih fungsi kawasan mangrove sebesar 710.000 hektare menjadi kawasan pertambakan dan pemukiman. Sebagian di antaranya terjadi di Dumai dan Bengkalis, Riau. Area tersebut ada yang masih berstatus kawasan hutan. “Kami bersama KLHK dan pemerintah provinsi setempat sedang mengkaji apakah kawasan-kawasan eks mangrove akan dipertahankan sebagai Kawasan hutan dan direhabilitasi atau apakah dilepas sebagai APL untuk keperluan lain,” katanya.
Terlepas dari ancaman-ancaman itu, pemerintah meyakini bahwa potensi karbon biru dari mangrove belum optimal. Sebab, “NDC saat ini hanya menghitung potensi cadangan karbon mangrove yang ada di atas tanah,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi. Laksmi yakin bila perhitungan tangkapan karbon untuk di bawah tanah dan di dalam tanah dihitung, maka target NDC bisa dinaikkan.
Laksmi menjelaskan bahwa potensi karbon biru di Indonesia mencapai 22,6% dari potensi karbon biru global atau sekitar 3.112.989 meter persegi. Dari angka-angka itu baru cadangan mangrove yang ada di atas tanah yang dihitung. Potensi karbon biru dari padang lamun dan rawa payah belum dihitung dalam inventarisasi gas rumah kaca nasional. “Data yang kami miliki belum memadai,” kata dia.
Menurut Mudiyarso, et al (2015) potensi stok karbon dari mangrove mencapai 1.083 ton karbon per hektare. Baru sebanyak 20% yaitu potensi karbon di atas tanah yang diperhitungkan dalam NDC dari sektor FoLU. Tetapi potensi karbon di bawah tanah (below ground) sebanyak 2%, dan karbon tanah sebesar 78% masuk perhitungan. Potensinya sendiri mencapai 3,58 pentagram karbon atau 3,58 miliar ton karbon bila dihitung setelah diekstrapolasi ke total luas sebesar 3,31 juta hektare.
Sementara menurut Alongi, et al (2015) potensi stok karbon dari padang lamun mencapai 119,5 ton karbon per hektare. Dengan rincian karbon di atas tanah sebesar 0,2%, karbon di bawah tanah sebesar 0,9% dan karbon tanah sebesar 98,9%. Maka total potensi stok karbon padang lamun mencapai 386,5 juta ton karbon bila diekstrapolasi ke total luas padang lamun sekitar 3 juta hektare.
Peneliti Badan Standardisasi LHK Haruni Krisnawati menjelaskan bahwa luas padang lamun di Indonesia masih belum pasti. “Studi dan kajian kuantitatif terkait luas lanun masih terbatas,” katanya. Namun meski kajian masih terbatas, sejumlah studi melaporkan adanya tren penurunan luas padang lamun secara global.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia baru memvalidasi padang lanun di 29 lokasi atau seluas 25.752 hektare. Jumlah itu masih di bawah 1% dari perkiraan luas padang lanun di Indonesia yang mencapai 30 ribu kilometer persegi.
Laksmi optimistis bahwa potensi karbon biru dapat diukur secara metodologis dengan data yang memadai sebagai program mitigasi perubahan iklim dengan target net zero emission atau nol bersih emisi pada 2060. "Pasti kita bisa, potensi karbon biru akan terukur."
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :