Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 22 April 2022

Kaktus pun Terancam Punah

Pemanasan global mengancam keanekaragaman hayati. Hingga kaktus di ambang kepunahan.  

Saguaro (Carnegiea gigantea) adalah spesies kaktus yang meyerupai pohon dan dapat tumbuh lebih dari 12 meter. Spesies ini berasal dari gurun Sonoran di Arizona dan Negara Bagian Sonora di Meksiko. (Foto: Pixabay)

KAKTUS berasosiasi pada tanaman berduri yang tumbuh di gurun kering dan bisa hidup di bawah suhu yang panas. Kenyataannya tidak semua kaktus penghuni gurun.

Ada kaktus yang tinggal di hutan hujan atau iklim dingin di dataran tinggi. Yang lain menyimpan sedikit air pada tangkainya dan mengandalkan embun dan hujan. Ada juga yang tumbuh di lingkungan spesifik seperti tebing kapur di Meksiko, bukit granit di Brasil atau sebidang pasir di Peru.

Studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Plant pada pertengahan April ini menyebutkan bahwa sebanyak 60% kaktus (Cactaceae) terancam punah akibat pemanasan global. Ancaman kepunahan itu akan meningkat menjadi 90% pada 2070 ketika kenaikan suhu bumi mendekati 20 Celsius, hilangnya habitat dan penyebab stres lainnya.

Studi ini menantang asumsi lama yang menyebutkan bahwa tanaman ikonik berduri ini bisa tumbuh dan berkembang pada suhu panas. Dari sekitar 2.000 spesies kaktus yang sudah teridentifikasi, studi ini mengamati 408 spesies.

Studi yang dilakukan Departemen Ekologi dan Biologi Evolusi University of Arizona ini menghitung paparan perubahan iklim melalui prakiraan jangkauan dan peta keanekaragaman menggunakan tiga Jalur Konsentrasi Perwakilan (2.6, 4.5 dan 8.5) untuk tahun 2050 dan 2070.

Jalur Konsentrasi Perwakilan (Representative Concentration Pathway) adalah lintasan konsentrasi gas rumah kaca (bukan emisi) yang diadopsi oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Jalur ini menjadi permodelan iklim dan penelitian.

Jalur itu memprediksi masa depan iklim tergantung dari volume gas rumah kaca yang dipancarkan pada tahun-tahun mendatang.

Jalur 2,6 adalah jalur yang sangat ketat dengan prediksi bahwa dunia bisa mempertahankan kenaikan suhu di bawah 2C dari sebelum masa Revolusi Industri pada 2100. Jalur 4,5 adalah skenario menengah yaitu ketika bumi mencapai puncak puncak emisi pada 2040 dan kemudian menurunkan suhunya. Sementara jalur 8,5 adalah skenario terburuk.

Kesimpulan dari studi yang dipimpin oleh Michiel Pillet itu menunjukkan bahwa jika bumi memanas sedikit saja, akan ada banyak jenis kaktus yang mati meskipun iklim di wilayah tempat mereka tinggal cenderung lebih “ramah.”

Pillet juga menyebutkan bahwa prediksi studi ini tidak memperhitungkan kejadian ekstrem seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Di Gurun Sonoran, Arizona, tanaman tahan kering buffelgrass asli Afrika telah membuat kawasan ini menjadi sangat mudah terbakar. Kebakaran di sana telah menewaskan ribuan saguaro dalam beberapa tahun terakhir.

Saguaro (Carnegiea gigantea) adalah spesies kaktus yang meyerupai pohon dan dapat tumbuh lebih dari 12 meter. Spesies ini berasal dari gurun Sonoran di Arizona dan negara bagian Sonora di Meksiko.

Kaktus sendiri saat ini merupakan, “salah satu kelompok organisme yang paling terancam punah di planet ini.” Sebelum studi ini, penelitian sebelumnya sudah menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan menjadi ancaman dan mempengaruhi sekitar 31% spesies kaktus.

Pada akhirnya, pemanasan global menambah ancaman bukan hanya bagi kaktus, tetapi juga spesies lainnya. Tentu saja, masih ada kesempatan bagi kaktus dan berbagai spesies lainnya untuk bertahan hidup dan menghindari kepunahan jika kenaikan suhu 1,5C dapat dicegah.

Dalam bukunya “On The Origin of Species,” Charles Darwin berpendapat bahwa evolusi terjadi karena seleksi alam, dan makhluk hidup berevolusi sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungannya.

Adaptasi adalah proses panjang yang membutuhkan waktu. Jika kita gagal mengendalikan kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim yang terjadi dengan cepat, kepunahan sepertinya merupakan keniscayaan. Seperti masa depan kaktus di gurun-gurun kering Amerika dan Meksiko itu.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain