Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 April 2022

Peran Hutan Mencegah Krisis Iklim

Hutan bisa menjadi penyebab sekaligus pencegah krisis iklim. Bagaimana caranya?

Deforestasi di Papua (Foto: Ardiles Rante/Greenpeace)

EMISI karbon dari satu periode ke periode ternyata makin cepat skala dan volumenya. Peneliti Departemen Teknik Sipil di University of Hongkong dan Southern University of Science and Technology mendeteksi hilangnya karbon tropis selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan di daerah tropis.

Karbon hutan tropis di seluruh dunia hilang dari 0,97 miliar ton karbon per tahun pada tahun 2001-2005 menjadi 1,99 miliar ton per tahun pada 2015-2019. Hasil penelitian ini memberi pesan bahwa pengelolaan hutan tropis di dunia dalam dua dekade terakhir (2000-2020) tidak makin membaik malah makin memburuk. Perubahan hutan menjadi non hutan menyumbang 48% emisi karbon.

Konstruksi Kayu

Menurut The State of Indonesia's Forest (SOFO) 2020, hutan Indonesia seluas 120,3 juta hektare, juga tidak lepas dari masalah deforestasi yang cukup akut. Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2024, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.

Sejak 1990, angka deforestasi tertinggi terjadi pada 1996-2000, yaitu 3,51 juta hektare per tahun, lalu menurun pada tahun berikutnya. Selama 2014-2015, total deforestasi di Indonesia mencapai 1,1 juta hektare, lalu menurun menjadi 630.000 hektare pada 2015-2016 dan terus menurun lagi menjadi 496.370 hektare pada 2016-2017. Pada tahun 2018-2019 laju deforestasi sebesar 462,46 ribu hektar dan tahun 2019-2020 diklaim turun menjadi berada pada angka 115,46 ribu hektar. Pulau terluas deforestasi adalah Kalimantan dan Sumatera. Pemerintah berharap deforestasi pada 2030 antara 450.000 hektare-325.000 hektare per tahun.

Boleh jadi, laju deforestasi menurun karena kawasan hutan alam primer menyusut luasnya. Dari 120,3 juta hektare, 45,3 juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam primer, yang terbagi lagi menjadi hutan alam primer dalam kawasan hutan konservasi 12,5 juta hektare, hutan lindung 15,9 juta hektare, hutan produksi 17,0 juta hektare.

Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dan penyebab perubahan iklim. Pohon-pohon yang mati karena perubahan tata guna hutan, ataupun karena mengering dengan sendirinya akibat meningkatnya suhu dalam perubahan iklim, akan melepaskan karbon dioksida. Selain itu, kematian pohon-pohon menyebabkan berkurangnya penyerap karbon dioksida itu sendiri.

Suhu yang terlalu panas, berkurangnya ketersediaan air, dan bencana alam akibat perubahan cuaca bisa merusak lahan pertanian. Suhu yang terlalu panas dan berkurangnya ketersediaan air akan menghambat produktivitas pertanian. Perubahan iklim juga akan menyebabkan perubahan masa tanam dan panen ataupun menyebabkan munculnya hama dan wabah penyakit pada tanaman yang sebelumnya tidak ada.

Peningkatan permukaan air laut menyebabkan bergesernya batas daratan di daerah pesisir yang kemudian menenggelamkan sebagian daerah pesisir ataupun pemukiman di daerah pesisir. Kenaikan suhu bumi yang menyebabkan mencairnya es pada dataran kutub-kutub bumi, kemudian menyebabkan peningkatan permukaan air laut yang menenggelamkan pulau-pulau kecil.

Kasus-kasus dari dampak krisis iklim di Indonesia menjadi bukti tak terbantahkan bahwa  krisis iklim nyata di depan kita. Gagal panen akibat kekeringan terjadi di Kampar Riau dan Gunung Slamet Jawa Tengah. Akibat cuaca yang tidak menentu, para nelayan di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Surabaya, Jawa Timur tidak dapat melaut. Petani kopi di Bengkulu gagal panen.

Maka agar hutan berperan mencegah krisis iklim, atau hutan bukan penyebab krisis iklim, hal yang perlu kita lakukan adalah mencegah kerusakannya. Menekan serendah-rendahnya angka deforestasi sampai dengan titik nol, baik melalui regulasi, tindakan pengawasan lapangan yang sangat ketat dan berlapis, serta hukuman pidana yang tegas sebagai efek jera bagi siapa saja yang melanggar, adalah cara terbaik mencegah krisis iklim.

Sementara itu kawasan hutan tetap yang tidak ada lagi tutupan hutannya harus dipulihkan kembali menjadi hutan yang mempunyai tutupan hutan baru. Merujuk data dalam The State of Indonesia's Forest 2020, terdapat kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare tak lagi memiliki tutupan hutan (forest coverage), kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare, namun yang perlu mendapat prioritas untuk dipulihkan seluas 13,36 juta hektar. Penanaman vegetasi kayu-kayuan pada kawasan hutan yang kritis merupakan satu-satunya jalan untuk memulihkan kawasan hutan yang tidak mempunyai lagi tutupan hutannya.

Program pemerintah tentang rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di kawasan hutan tampaknya kurang berhasil dalam membangun hutan dengan tutupan hutan yang baru. Di lapangan setelah 15 -20 tahun, tidak satu pun luas hutan yang dapat dibangun dalam suatu kawasan terpadu dan kompak yang terdiri dari kesatuan pohon dewasa yang mampu mempengaruhi iklim makro apalagi mikro.

Deforestasi Indonesia

Paradigma baru keberhasilan program rehabilitasi dalam kawasan hutan sudah harus bertumpu pada keberhasilan membangun hutan baru yang kompak setelah tanaman hutan yang ditanam berubah dan tumbuh menjadi pohon dewasa setelah berumur minimal 15 tahun. Caranya adalah membangun hutan dengan bibit tanaman kayu-kayuan yang berkualitas tinggi dan tanamannya dipelihara dan dirawat secara terus menerus dan intensif sampai tumbuh dan berkembang menjadi pohon dewasa.

Dengan begitu, hutan akan berkontribusi mencegah krisis iklim sekaligus menjadi penyelamat bumi dari kerusakan akibat bencana iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain