Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 26 April 2022

Era Antroposen dan Upaya Menyembuhkan Alam

PBB menyebut era antroposen mencengkram bumi dan umat manusia. Kesempatan untuk tetap lestari ada di tangan generasi muda.  

Antroposen merupakan istilah yang menjelaskan era di mana manusia menjadi pendorong utama berubahnya planet yang secara radikal mengubah biosfer bumi. (Foto: pixabay)

UNITED Nations Development Program (UNDP) menerbitkan laporan pembangunan manusia. Laporan tahunan ini mengungkapkan bahwa ancaman terhadap manusia meningkat dan berlipat di era Antroposen. Antroposen adalah istilah yang menjelaskan era di mana manusia menjadi pendorong utama perubahan planet bumi.

Dalam laporan berjudul “Ancaman Baru Keamanan Manusia di Era Antroposen,” itu menyebutkan bahwa berbagai ancaman dari COVID-19, teknologi digital, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, telah mengambil bentuk baru dalam beberapa tahun terakhir. “Umat manusia membuat dunia menjadi tempat yang semakin tidak aman dan genting,” tulis laporan itu.

Konstruksi Kayu

Kepala Perwakilan UNDP di Indonesia, Norimasa Shimomura, menjelaskan bahwa laporan itu merupakan alarm tanda bahaya dari lingkungan akibat aktivitas manusia. “Kita akan menghancurkan masa depan jika tidak bersikap,” kata Shimomura dalam Webinar “Menemukan Kembali Keseimbangan (Rebound) Hubungan Manusia dan Alam” yang digelar pada 22 April 2022.

Webinar ini merupakan yang pertama dari tiga rangkaian diskusi publik yang digelar menjelang Stockholm 50+, KTT lingkungan yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Stockholm, Swedia pada 2-3 Juni mendatang. KTT tersebut diharapkan dapat mendorong visi bersama untuk memperbaiki lingkungan dan mencegah perubahan iklim.

Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa antroposen merupakan era baru yang mengubah hubungan manusia dengan alam. Dalam paparannya dia menjelaskan bagaimana kebudayaan dan tuntutan manusia untuk terus berproduksi yang pada akhirnya melahirkan kerusakan pada bumi.

Pada mulanya, kata dia, hubungan manusia dengan alam adalah hubungan dinamis dan seimbang. Mengambil seperlunya dari alam dan mengembalikannya. Namun perkembangan teknologi yang diawali dari Revolusi Industri mengubah hubungan itu. “Terjadi ketegangan hubungan manusia dan alam,” katanya. Pada perkembangannya, era Industri membuat manusia tidak memiliki belas kasihan pada alam demi mengejar pertumbuhan.

“Era ini ditandai dengan adanya treadmill production theory,” kata Imam. Manusia dituntut untuk produktif dengan berproduksi. Kebutuhan manusia ditingkatkan dan dipacu melebihi batas kebutuhan.

Ini dilihat dari banyaknya iklan yang beredar di media. “Semua ini tentang persepsi. Masyarakat dibuat membutuhkan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan,” katanya.

Imam mengutip pernyataan PBB yang menyebutkan bahwa, …human have unlimited needs, but the planet has limited capacity to satisfy them (manusia memiliki kebutuhan tidak terbatas, tetapi planet ini memiliki kapasitas terbatas untuk memenuhinya). Kebutuhan yang tidak terbatas ini pada akhirnya melahirkan konflik yang lahir dari ketimpangan.

Hal ini dibenarkan oleh Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia. Chalid mengutip data Oxfam yang menyebutkan bahwa 1% populasi terkaya dunia menguasai 82% total kekayaan dunia. Sebelumnya, Badan Pangan Dunia (FAO) memprediksi bahwa dunia harus meningkatkan produksi pangan sebanyak 70% pada 2050.

“Kontrol atas air, pangan dan energi oleh segelintir orang, menjadi ancaman serius,” kata dia. Chalid juga mempertanyakan mengapa eksploitasi dan konsumsi hidrokarbon justru meningkat signfikan di tengah pembahasan serius tentang perubahan iklim.

Imam dan Chalid sepakat bahwa harapan untuk hidup berkelanjutan masih ada di tangan generasi muda. Imam menjelaskan bahwa revolusi industri membuka era internet dan era jejaring. Imam merujuk pada studi yang menyebutkan bahwa generasi millennial memiliki kesadaran tinggi untuk menyelamatkan alam. “Isu lingkungan memiliki persentase yang tinggi di 48,8% di kalangan millenial,” katanya.

Imam juga menekankan bahwa untuk menyelamatkan bumi, paradigma pembangunan ke depan harus diubah. Bukan melulu tentang pertumbuhan (growth) tetapi juga lingkungan.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Vivien Ratnawati menekankan perlunya ekonomi sirkuler dan pendekatan produksi dan konsumsi yang minim sumber daya. Treadmill production theory menghasilkan sampah yang luar biasa merusak lingkungan, sehingga, “Timbulan limbah harus bisa digunakan kembali,” katanya.

Salah satu caranya adalah dengan mengubah kebiasaan membuang menjadi mendaur ulang. “Jika kita mampu mengurangi limbah dan polusi, menggunakan material selama mungkin dan menciptakan sistem regeneratif, masih ada harapan untuk lestari,” katanya.

Dengan begitu, era antroposen seperti disebutkan dalam laporan UNDP itu bisa dicegah tak menghasilkan bencana dahsyat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain