Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 April 2022

Ekonomi Sirkular Solusi Menangani Sampah

Ekonomi sirkular bisa menjadi solusi sampah. Tapi yang terpenting menghilangkan sampah sejak dari pikiran.

Sampah plastik di pantai (foto: sergeitokmakov/pixabay)

SETIAP tahun penduduk bumi memproduksi 300 juta ton plastik. Separuh dari jumlah itu digunakan untuk membuat barang sekali pakai. Seperti tas belanja, cangkir dan sedotan. Setiap tahun pula, sebanyak 14 juta ton menjadi sampah plastik dan berakhir di lautan. Sampah plastik merupakan jenis sampah yang paling melimpah di lautan.

Menuruut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampah elektronik global mencapai 50 juta ton pada 2019. Dari makanan yang diproduksi untuk penduduk bumi setiap tahun, sebanyak 1,3 miliar ton yang tidak dikonsumsi. “Untuk itu bukan hanya harus memproduksi secara berkelanjutan, kita juga harus mengkonsumsi secara berkelanjutan dengan meminimalkan sumber bahan alam,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Vivien Ratnawati dalam webinar Menemukan Kembali Keseimbangan (Rebound) Hubungan Manusia dan Alam yang digelar pada 22 April 2022.

Webinar ini merupakan yang pertama dari tiga rangkaian diskusi publik yang digelar menjelang Stockholm 50+, KTT lingkungan yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Stockholm, Swedia, pada 2-3 Juni 2022. KTT tersebut diharapkan dapat mendorong visi bersama untuk memperbaiki lingkungan dan mencegah perubahan iklim.

Kenyataannya upaya untuk memproduksi dan mengkonsumsi berkelanjutan itu memang memiliki tantangan yang besar. Data KLHK tahun 2021 menunjukkan bahwa timbulan sampah plastik dan kertas dalam negeri sebanyak 19,66 juta ton per tahun. Sementara penggunaan sampah plastik dan kertas dalam negeri masih rendah, hanya 46% dari timbulan sampah dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh sampah plastik dan kertas yang seharusnya bisa digunakan kembali, justru dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Data lainnya menunjukkan bahwa kebutuhan bahan baku industri daur ulang plastik dan kertas tinggi, mencapai 7,6 juta ton per tahun. Mirisnya, Indonesia masih mengimpor bahan baku plastik dan kertas untuk industri daur ulang. Jumlahnya juga lumayan: 3,43 juta ton per tahun. “Industri daur ulang butuh sampah terpilah,” kata Vivien.

Sementara saat ini, pemerintah daerah belum melakukan pengangkutan sampah secara terpilah. Sebab, hal ini membutuhkan investasi yang besar. Solusinya, kata Vivien, adalah partisipasi warga masyarakat untuk mengantarkan sampah yang sudah terpilah ke bank sampah.

Di sektor industri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Aturan ini salah satunya mendorong pelarangan penggunaan plastik sekali pakai untuk retail.

Saat ini ada sudah ada 76 pemerintah daerah yang menjalankan aturan ini. Walaupun untuk implementasi dan penegakan aturan masih harus dipantau. Bali merupakan provinsi paling baik yang menjalankan larangan penggunaan plastik sekali pakai untuk retail.

Peraturan Menteri itu juga mendorong industri mendaur ulang pembungkus bahan baku dan produk yang dijual ke masyarakat. Contohnya, perusahaan yang menjual minuman kaleng, membeli kembali semua kaleng bekas di bank sampah. “Bukan hanya kaleng produksinya, tapi produksi perusahaan lain yang sejenis,” kata Vivien. “Nantinya ini akan menjadi credit waste,” katanya.

Perputaran sumber daya melalui daur ulang itu merupakan bentuk ekonomi sirkular, solusi untuk produksi dan konsumsi berkelanjutan. Vivien menerjemahkan ekonomi sirkular sebagai pendekatan ekonomi dari produksi hingga konsumsi yang memimalisasikan sumber daya dan timbulan limbah agar bisa digunakan kembali.

Ekonomi sirkular merupakan bentuk pembangunan rendah karbon yang mengurangi limbah dan polusi, menggunakan material selama mungkin, dan membangun system yang regeneratif. “Ekonomi sirkular itu melingkar. Sama sekali tidak boleh dibawa ke lingkungan.” Bahkan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) harus memiliki potensi dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk produksi dan menghadirkan produk.

Vivien menyadari pentingnya kampanye gaya hidup minim sampah kepada masyarakat, mengganti budaya membuang menjadi mendaur ulang atau menggunakan kembali. Misalnya dengan menjadikan penjualan curah di supermarket sebagai tren di mana masyarakan membawa botol sendiri untuk minyak.

Juga pengurangan sampah take away dengan membawa kotak makanan sendiri. “Hanya residu yang terbuang, Emisi gas rumah kaca yang timbul kalau semua dibuang,” katanya. Sebab, sebanyak 66,8 persen tempat pembuangan akhir (TPA) di Indonesia menggunakan sistem open dumping.

Open dumping berarti lebih banyak gas metana yang akan terproduksi dan terlepas ke atmosfer. Sementara gas metana merupakan emisi gas rumah kaca yang harus diturunkan secepat mungkin karena 25 kali lebih kuat menyebabkan pemanasan global dibanding karbon dioksida.


Baca liputan sampah Jakarta:


Meski metana “hanya” bertahan sembilan tahun di atmosfer dibandingkan dengan karbon dioksida, gas rumah kaca ini menyerap lebih banyak panas dari pada karbon dioksida. Penurunan gas metana di atmosfer merupakan salah satu cara tercepat menahan laju pemanasan global.

Indonesia memiliki target penurunan emisi dari sektor limbah 0,38-1% pada 2030. Secara total, target penurunan emisi Indonesia sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dengan prediksi emisi sebanyak 2,87 miliar setara CO2. Target pengurangan emisi karbon dari sektor limbah adalah 11 juta ton setara CO2 untuk target 29%, dan 26 juta ton setara CO2 untuk target 41%.

Untuk mencapai target ini dari sektor limbah, harus ada langkah segera untuk mengubah budaya masyarakat dari membuang menjadi mendaur ulang atau menggunakan kembali melalui ekonomi sirkular sampah. Termasuk budaya industri yang cenderung mengukur pertumbuhan produksi tanpa memperhitungkan lingkungan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain