SETELAH reptil terancam punah, kini burung juga mengalami ancaman serupa. Risiko kepunahan spesies burung Indonesia paling tinggi di dunia, menurut analisis Burung Indonesia.
Pada 2021, sebanyak 179 spesies burung di Indonesia dikategorikan sebagai spesies terancam punah. Tahun ini, jumlah tersebut turun menjadi 177 spesies, terdiri dari 96 spesies dalam kategorikan rentan, 51 spesies genting, dan 30 spesies kritis, termasuk kakatua Sumba yang merupakan pemecahan dari kakatua kecil jambul kuning. Kakatua jambul kuning juga berstatus kritis.
Meski jumlah burung terancam punah itu turun, perbandingan persentase dari total burung terancam punah dalam skala global termasuk tinggi. Dengan jumlah ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah spesies burung terancam punah tertinggi di dunia, yaitu mencapai 12% dari angka global. “Temuan ini merupakan hasil dari analisis data kompilasi yang kami lakukan,” kata Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaidi, ketika dihubungi pada 29 Maret 2022.
Setiap tahun, Burung Indonesia melakukan penelitian berdasarkan literatur, artikel populer, jurnal ilmiah, juga informasi pengamatan publik yang terkumpul dalam platform sainswarga, e-bird.
Maleo senkawor (Macrocephalon maleo), puyuh sengayan (Rollulus rouloul), pergam hijau (Ducula aenea) adalah tiga jenis burung yang status keterancamannya naik.
Maleo senkawor mengerami telurnya dengan cara unik, yakni menimbunnya di dalam tanah. Ada sekitar dua pertiga tempat bertelur maleo senkawor yang tidak dikunjungi lagi oleh individu dewasa. “Terjadi penurunan jumlah burung yang mengunjungi situs-situs peneluran yang masih aktif dalam tiga generasi terakhir," kata Ridha.
Selain itu, populasi puyuh sengayan juga diperkirakan telah menurun 30% dan terancam punah secara global dalam kategori Rentan. Sedangkan untuk pergam hijau masuk dalam kategori "mendekati terancam".
Menurut Ridha, sejak awal 2021 hingga awal 2022, spesies baru bertambah sebanyak delapan jenis, tiga di antaranya berasal dari deskripsi spesies baru, dua berasal dari catatan perjumpaan baru untuk Indonesia, dan tiga spesies lainnya merupakan penambahan yang disebabkan adanya revisi pada klasifikasi atau taksonomi burung.
Tiga spesies yang baru dideskripsikan antara lain sikatan kadayang (Cyornis kadayangensis), kacamata Meratus (Zosterops meratusensis), dan burungbuah satin (Melanocharis citreola). Sikatan kadayang dan kacamata Meratus merupakan dua spesies burung yang tersebar sangat terbatas di Pulau Kalimantan. Keduanya diperkirakan hanya ada di pegunungan Meratus di atas ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut yang saat ini dikelilingi hutan tanaman sekunder atau bentang alam perkebunan pada elevasi yang lebih rendah.
Semetara burung buah satin merupakan spesies baru dengan persebaran sangat terbatas di Pulau Papua. Burung ini ditemukan dalam sebuah ekspedisi ornitologi pada 2014 dan 2017 di Papua Barat. Temuan dari ekspedisi tersebut menunjukkan, burung buah di pegunungan Kumawa dan pegunungan Fakfak memiliki perbedaan morfologi dan genetik dengan spesies burungn buah lain di Papua. “Burung tersebut diperkirakan hanya ada pada kedua hutan pegunungan itu," kata Ridha.
Penambahan dua spesies baru adalah kancilan ekor-hitam (Pachycephala melanura) dan tepus-permata mahkota (Ptilorrhoa geislerorum). Kedua burung ini memiliki persebaran utama di luar batas Indonesia, namun dari catatan hasil pengamatan terbaru membuktikan bahwa keduanya juga tersebar di tanah air
Kancilan ekor-hitam memiliki persebaran utama di Australia dan Papua Nugini, tampak di wilayah pulau Komolom, Papua Barat. Sedangkan untuk tepus-permata mahkota sebelumnya diketahui tersebar terbatas di wilayah Papua Nugini, ternyata tersebar juga sekitar 900 kilometer ke arah barat, yaitu di Pulau Yapen, Papua. Populasi tepus-permata mahkota di Yapen diperkirakan terisolasi dari populasi lainnya.
Revisi taksonomi burung, khususnya pemecahan taksonomi, juga turut andil dalam penambahan jumlah spesies burung di Indonesia pada tahun ini. Kangkok ranting (Cuculus optatus), sikatan tanajampea (Cyornis djampeanus), dan kakatua Sumba merupakan tiga spesies yang menambah dalam daftar spesies burung di Indonesia tahun ini setelah mendapatkan predikat sebagai spesies penuh.
Kangkok ranting dan sikatan tanajampea mendapatkan predikat spesies setelah adanya informasi-informasi baru yang membuktikan jika kedua taksa tersebut memiliki perbedaan karakteristik morfologi dan vokalisasi dengan taksa kangkok himalaya (Cuculus saturatus) dan sikatan bakau (Cyornis rufigastra) yang berkerabat dekat.
Perbedaan karakteristik morfologi menjadi landasan utama pemecahan spesies kakatua Sumba dari kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulpurea). Ukuran paruh yang lebih besar, sayap dan ekor yang lebih panjang, bulu penutup telinga yang sebagian besar berwarna jingga pucat, dan jambul panjang berwarna jingga. Kemudian, paruh individu remaja kakatua sumba lebih gelap dibanding remaja taksa kakatua-kecil jambul-kuning lainnya
Cerek jawa (Charadrius javanicus), yang sebelumnya memiliki sebaran terbatas, turun status keterancamannya. Sebelumnya, burung ini dianggap hanya menghuni pesisir pulau Jawa dan Kangean. Dengan penambahan bukti dan laporan dari lapangan, spesies ini terkonfirmasi menghuni habitat pesisir selatan Sumatera (Lampung), Sulawesi, Meno, Semau, dan Flores. “Karena itu status cerek Jawa masuk kategori risiko rendah,” kata Ridha.
Menurut Ridha, status burung di Indonesia yang terancam punah terkait dengan persebarannya. “Burung endemik berisiko lebih besar,” kata dia. Selain persebarannya tebatas, kerusakan habitat menjadi ancaman terbesar.
Indonesia memang memiliki keanekaragaman hayati yang besar, urutan keempat skala global. Namun, ancaman habitat, perburuan dan penangkapan liar menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati terutama, burung,
Tiap burung memiliki peran dalam ekosistem, baik sebagai penyebar biji maupun pengendali hama. Kepunahan satu spesies burung Indonesia bisa memberikan efek berantai: hutan sulit beregenerasi, terjadi overpopulasi hama jenis tertentu, dan lain-lain. Kepunahan burung berarti awal kekacauan ekosistem.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :