Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Mei 2022

Hutan Tropis Hilang 11,1 Juta Hektare

Hutan tropis menghilang 11,1 juta hektare pada 2021. Melepaskan 2,5 miliar ton CO2.  

Sebuah traktor sedang membajak area food estate perkebunan singkong di Gunung Mas, Kalimatan Tengah (Foto: Dok. Save Our Borneo)

DEFORESTASI global akibat hilangnya tutupan hutan primer terus berlanjut sepanjang 2021. Konferensi Iklim COP26 di Glasgow yang menyepakati menurunkan deforestasi hingga nol pada 2021 terancam.

World Resources Institute (WRI) yang menganalisis data dari University of Maryland menyimpulkan bahwa tutupan hutan primer di wilayah tropis menghilang 11,1 juta hektare sepanjang tahun lalu. Luas ini termasuk 3,75 hektare hutan primer yang penting untuk membatasi pemanasan global dan menjadi rumah keanekaragaman hayati.

Konstruksi Kayu

WRI mencatat hutan hujan tropis yang hilang sepanjang tahun lalu melepaskan emisi 2,5 miliar ton setara karbon dioksida. Angka ini sama dengan emisi bahan bakar fosil tahunan India. Sebanyak 40% hutan menghilang di Brazil, disusul Kongo, Bolivia, Indonesia, dan Peru serta lima negara lainnya.

Data 10 besar negara dengan kehilangan hutan primer terluas pada 2021

Kebakaran hutan, kenaikan suhu dan pembukaan lahan paling mempengaruhi ketahanan hutan di seluruh dunia. Para ahli memperingatkan bagian-bagian hutan Amazon berada dalam kondisi kritis akibat konversi menjadi sabana.

Sebanyak 9% kehilangan tutupan hutan primer berkaitan dengan pembukaan lahan. Tapi penyebab deforestasi yang bukan berasal dari kebakaran mencapai 25%.

Dari angka-angka tersebut terlihat lonjakan deforestasi mengkhawatirkan di hutan Amazon Brazil bagian barat, terkait dengan pembukaan skala besar untuk padang rumput ternak.

Sementara di Kongo, deforestasi terjadi akibat perluasan lahan pertanian skala kecil dan pemanenan pohon untuk memenuhi kebutuhan energi. Hutan Bolivia mencetak rekor baru kehilangan tutupan hutan akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan kebakaran, termasuk di kawasan lindung.

Luas deforestasi hutan Indonesia menurun selama lima tahun terakhir. Angka deforestasi WRI lebih besar dibanding angka resmi pemerintah tahun 2020. Penurunan kehilangan luas hutan tropis Indonesia, menurut WRI, karena turunnya angka kebakaran.

WRI mencatat kebakaran gambut berkurang setelah kebakaran hebat 2015. Restorasi rawa gambut dan berdirinya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mereka nilai sebagai upaya serius Indonesia mencegah laju kehilangan hutan.

Meski begitu, tren positif penurunan deforestasi ini terancam kenaikan harga kelapa sawit yang sekarang berada pada level tertinggi dalam 40 tahun. Pembekuan sementara izin perkebunan kelapa sawit yang tidak diperpanjang tahun lalu, membuka kesempatan ekspansi perkebunan sebagai respons terhadap kenaikan harga.

Studi Tree Maps menganalisis kecenderungan pembukaan lahan seiring kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) selama sepuluh tahun terakhir. Meski ekspor CPO telah dilarang akibat kelangkaan minyak goreng, perang Ukraina yang mengganggu pasokan minyak dan gas akan menaikkan permintaan terhadap minyak nabati yang mendorong kenaikan harga CPO di pasar global.

WRI juga memuji kebijakan perhutanan sosial dan reformasi agraria. Syaratnya, jika akses lahan dan distribusi aset itu benar-benar menyentuh masyarakat lokal dan adat untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dengan skala kecil, masyarakat bisa mengendalikan deforestasi dibanding skala usaha besar seperti penyebab-penyebab deforestasi 2021.

Karena itu analisis WRI mencemaskan kemungkinan kebijakan perhutanan sosial dan TORA menyimpang dari tujuan awal dengan mengalokasikan lahan hutan itu kepada perusahaan dengan dorongan permintaan pasar terhadap minyak nabati.

Kebijakan perhutanan sosial yang bolong memungkinkan akuisisi lahan oleh perusahaan berkedok kelompok tani hutan. Jika ini yang terjadi, deforestasi hutan primer akan berlanjut dalam skala besar.

WRI juga menekankan adanya risiko pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 yang berdampak pada hutan. Pemulihan ekonomi selalu paralel dengan kerusakan hutan dan lingkungan karena intervensi. manusia untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Hutan boreal, hutan yang tersusun oleh satu spesies tanaman seperti pinus, cemara dan yang lainnya—juga mengalami rekor penurunan terbesar pada 2021. Terutama karena kebakaran besar di Siberia, Rusia yang meningkat 29 persen dibandingkan 2020.

Hutan di dataran tinggi yang selalu hijau ini semakin terancam oleh perubahan iklim, akibat cuaca yang lebih panas dan lebih kering. Kondisi ini bisa membuat hutan menjadi kian rentan oleh kebakaran dan kerusakan oleh serangga.

Area lahan gambut Siberia yang luas—terbesar di dunia—menyimpan sejumlah besar karbon, yang dilepaskan ke atmosfer saat gambut mengering. Permafrost atau lapisan es yang membeku akan mencair akibat pemanasan global, juga melepaskan karbon dan metana ke atmosfer. Kondisi ini akan memperburuk dan mempercepat krisis iklim.

Deforestasi hutan primer di kawasan tropis yang terus menerus adalah bencana. Kehilangan ini juga bisa menggagalkan target dunia untuk menekan laju pemanasan global di bawah 1,50 Celsius pada 2030. Jika dunia serius hendak mencegah bencana iklim, janji mereka menekan deforestasi hingga nol harus bukan lagi retorika.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain