PADA awal April 2022, Kota Solok gempar karena seekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) berjalan santai di kota ini. Ia memangsa seekor sapi dan meninggalkan jejak lain di sekujur kota.
Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat yang memeriksa jejak itu memastikan bahwa tanda tersebut benar jejak harimau Sumatera. Jejak harimau yang tertinggal itu berukuran 15-17-13 sentimenter. Sehingga diperkirakan usia harimau ini masih remaja yang sudah lepas dari induknya. Tim meminta masyarakat tidak keluar sendiri, menyalakan penerang di dalam dan luar rumah. Petasan, meriam karbit dan suar api juga dinyalakan untuk mengusir harimau.
Tapi harimau masih terlihat berkeliaran. Lokasi kota ini memang diapit dua hutan. Hutan lindung di timur dan hutan Suaka Margasatwa Bukit Barisan di barat. Sehingga sesekali harimau melintas atau menyeberang. Hanya saja, kali ini, harimau yang melintas tak kunjung kembali ke dalam hutan.
Wali Kota Solok menggelar rapat bersama BKSDA. Lalu tiga kandang jebak (box trap) dan kamera pengintai dipasang. Belum lama kamera dipasang, harimau itu terekam. Posturnya gemuk. Tim BKSDA memperkirakan harimau tersebut betina. Harimau ini terakhir terlihat di samping SMK Negeri 1 Solok pada 13 April 2022.
“Sebenarnya kemunculan harimau itu biasa. Hanya saja karena jejaknya ada di mana-mana, ada ketidaknyamanan masyarakat,” kata Kepala BKSDA Ardi Andono, ketika dihubungi. Pemasangan box trap itu, kata dia, untuk memberikan kenyamanan masyarakat.
Ardi menjelaskan sebenarnya masyarakat Minang sudah bisa dengan kemunculan harimau. Orang Minang, kata dia, memiliki kedekatan historis dengan harimau melalui hikayat-hikayatnya.
Masyarakat Minang menyebut harimau dengan sebutan “Inyiak Balang” atau nenek moyang. Dalam kepercayaan masyarakat Minang, harimau adalah penjaga kampung mereka, penjaga nagari.
Harimau pada dasarnya adalah satwa territorial. Dia akan menetap dan menjaga keseimbangan ekosistem itu. Semakin banyak pakan alami harimau di suatu kawasan semakin kecil pula teritorialnya. Itu sebabnya ketika harimau banyak turun ke pemukiman menunjukkan habitat mereka terganggu.
Pada Juli 2021, misalnya, BKSDA Sumatera Barat menangkap seekor harimau Sumatera di hutan Laut Tinggal, Kecamatan Sungai Aur, Kabupaten Pasaman Barat. Harimau ini berkali-kali turun ke kampung dan memangsa ternak. Baru sejam turun dari hutan, Ardi diminta datang ke rumah Bupati Pasaman Barat. “Di sana semua tetua adat, ninik, mamak dari masyarakat setempat malah meminta harimau dilepaskan lagi,” katanya.
Harimau yang diberi nama “Sipogu” itu akhirnya dilepas lagi di tempat dia ditangkap, setelah menjalani sejumlah pemeriksaan untuk memastikan kesehatannya.
Kasus lain terjadi di Pasaman pada Oktober 2021. Seekor harimau yang sepertinya sakit tergeletak di pinggir hutan. “Harimau itu diberi makanan oleh warga kampung setempat,” kata Ardi. Ketika tim BKSDA datang, harimau sudah meninggal. Warga mengkafaninya dan menutup kuburan dengan beton untuk mencegah pemburu mencuri tulangnya.
Ardi yakin kearifan lokal dan kedekatan warga dengan harimau dapat membantu kelestarian hewan yang berstatus kritis (critically endangered) ini. Saat ini, misalnya, Ardi membentuk “pagari” untuk membantu kerja BKSDA di Sumatera Barat. BKSDA hanya memiliki 50 petugas lapangan. Padahal wilayah kerjanya ada di 21 kawasan hutan konservasi di 15 kabupaten—termasuk Mentawai.
Pagari, kependekan dari Patroli Anak Nagari, bersisi anak-anak muda komunitas adat yang berpatroli mengecek harimau masuk kampung. Mereka sudah dididik untuk penanganan menghadapi konflik harimau-manusia sebelum tim BKSDA datang.
Mereka juga berpatroli untuk melepas jerat sling yang ada di hutan. Sling biasanya dipakai pemburu menjerat harimau.
Menurut Ardi, masyarakat Minang tak pernah memasang jerat karena paham fatalitasnya bagi Harimau. “Kalau ada harimau mati terjerat, pelakunya bukan orang Minang,” katanya.
Persinggungan harimau dan manusia yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai lokasi di Sumatera itu terkait dengan kerusakan habitat. Ardi tak menampik ada perambahan di wilayah kerjanya, seperti Sijunjung, Maninjau, dan Agam. Tetapi ketimbang provinsi lain, kawasan di Sumatera Barat lebih “ramah” untuk harimau.
Bentang alam Sumatera Barat yang tertutup hutan dengan lereng dan tebing curam memang menyulitkan manusia untuk mengubahnya menjadi area perkebunan. Selain itu, masyarakat Minang memiliki banyak tanah ulayat alias tanah waris yang sering kali dibiarkan menjadi hutan ketimbang dikelola. Masih ada harapan harimau Sumatera bisa berbagi ruang di tanah Minang.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :