Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Mei 2022

Mengukur Bahaya Krisis Iklim dari Cuitan Burung Kenari

Burung kenari menjadi alarm yang sensitif pada bahaya krisis iklim. Frase lama dari era awal batu bara.

R. Thornburg menunjukkan sangkar kecil dengan burung kenari yang digunakan untuk menguji gas karbon monoksida pada tahun 1928. (Foto: George McCaa, Biro Pertambangan AS)

CANARY in the coal mine, sebuah frasa dalam bahasa Inggris yang akhir-akhir ini kembali populer. Cambridge University menafsirkan frasa ini sebagai "sesuatu yang memberikan peringatan dini bahaya atau kegagalan yang akan berlangsung".

Frasa ini sesungguhnya berasal dari realitas pekerja tambang batu bara di awal abad 20. Sekitar awal tahun 1900-an, pekerja tambang membawa burung kenari berwarna kuning dalam sangkar ke dalam terowongan untuk menambang batu bara.

Konstruksi Kayu

Pada era itu, batu bara telah menjadi bahan tambang yang mendisrupsi tatanan ekonomi, sosial, dan budaya. Energi panas yang dihasilkannya bertransformasi menjadi energi mekanik berkat pengembangan mesin uap. Batu bara pun menjadi sumber energi primer yang menghasilkan listrik sehingga  permintaan dunia terhadapnya semakin tinggi.

Di balik permintaan itu ada ratusan penambang yang mati setiap tahun di dalam lubang-lubang tambang batu bara. Sebagian karena kecelakaan kerja, tetapi banyak yang mati tercekik. Mulanya kekurangan oksigen dalam terowongan tambang diduga menjadi penyebab asfiksia. Sampai John Scott Haldene menemukan biang keladinya adalah karbon monoksida dalam darah yang jumlahnya berlebihan.

Karbon monoksida adalah produk sampingan pembakaran yang bisa membunuh manusia di ruang yang berventilasi buruk. Jika karbon monoksida terhirup dan bertemu dengan hemoglobin dalam darah, akan tercipta racun yang mematikan. Gejala keracunan ditandai dengan wajah yang memerah.

Haldene pula yang menyarankan agar penambang membawa hewan kecil yang lebih sensitif terhadap karbon monoksida—gas beracun yang tidak berwarna dan tidak berbau. Jika hewan itu sakit atau mati, akan menjadi peringatan keras kepada penambang untuk mengungsi.

Haldene menyarankan menggunakan Kenari (Serinus canaria forma domestica). Selain karena ukurannya mungil, burung yang cenderung bernyanyi terus menerus ini juga memberikan isyarat darurat yang mudah. Kenari, seperti burung lainnya, merupakan pendeteksi awal karbon monoksida yang baik karena mereka rentan terhadap racun di udara.

Anatomi burung memungkinkan mereka mendapatkan oksigen ketika menghirup udara, lalu menahannya dalam kantung, kemudian mendapatkan oksigen tambahan ketika menghembuskan napas. Sehingga burung mendapatkan dosis ganda dari udara dan racun apa pun yang terkandung di dalamnya.

Jika ukuran kenari sama dengan manusia, jumlah racun yang dihirupnya dua kali lebih besar. Kenari mampu memberi waktu yang cukup bagi pekerja tambang menghindar dari keracunan karbon monoksida. Jadi ketika “nyanyiannya” mendadak tak terdengar, di situ saatnya pekerja tambang meninggalkan area pekerjaannya.

Di tahun 1986, praktik membawa burung yang menginspirasi kartun “tweety” ini dihentikan. Bukan karena adanya tekanan dari organisasi atau gerakan penyayang satwa, tapi karena era otomasi tiba. Sudah ada alat elektrik yang memberi sinyal tingginya karbon monoksida dalam tambang yang berbunyi dan memberi kesempatan pekerja tambang pergi.

Meski masa penggunaan burung kenari sebagai detektor karbon monoksida di dalam tambang batu bara sudah berakhir, frasa ini sudah melekat sehingga dipakai terus untuk menunjukkan ancaman atau peringatan dini terhadap bahaya, saat ini terutama untuk bahaya perubahan iklim.

Di era Antroposen, aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan iklim. Hal ini terutama karena laju dan tingginya pembakaran bahan bakar fossil penggerak industri, yang pada akhirnya menghasilkan emisi karbon.

Emisi karbon penyebab perubahan iklim terutama disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Panas pembakaran batu bara mengubah air menjadi uap bertekanan tinggi, menggerakkan turbin mesin, kemudian menghasilkan listrik.

Agensi Energi Internasional (IEA) menyebutkan bahwa batu bara merupakan sumber pembangkit listrik terbesar dan sumber tunggal terbesar emisi CO2.  Batu bara juga merupakan sumber karbon dioksida antropogenik terbesar yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Pada 2020, sebanyak 14 miliar ton karbon dioksida dipancarkan oleh pembakaran batu bara. Angka ini merupakan 40% dari total emisi bahan bakar fosil dan lebih dari 25% dari total emisi karbon global.

Frasa “Canary in a coal mine,” pun kini memiliki makna yang lebih luas. Bukan hanya merujuk pada kenari tetapi penurunan populasi spesies burung lainnya secara masif menjadi peringatan dini akan ancaman perubahan iklim.

Kajian yang diterbitkan dalam jurnal Annual Review of Environment and Resources, menemukan bahwa 48% spesies burung menurun jumlahnya. Kajian itu juga menyebutkan miliaran populasi burung hilang dalam beberapa dekade terakhir di Amerika Utara dan Eropa. “Di daerah tropis, proporsi spesies yang berada pada ambang risiko kepunahan lebih tinggi,” tulis kajian itu.

Penelitian yang digelar Burung Indonesia mengkonfirmasinya. Indonesia yang berada pada iklim tropis mengalami risiko kepunahan burung tertinggi di dunia. Perusakan habitat liar, krisis iklim, pestisida, polusi, spesies invasive hingga perburuan berlebihan menjadi penyebabnya.

Menurunnya populasi burung ini merupakan peringatan dini bukan hanya untuk keluar dari tambang batu bara, tetapi untuk menutup tambang yang menjadi bahan baku emisi karbon terbesar dan melakukan transisi ke energi baru terbarukan.

Agar peringatan dini dari kenari dan burung-burung lain tidak menjadi sia-sia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain