BURUNG di penjuru bumi bisa dilihat sebagai “Canary in the coal mine.” Burung atau aves adalah kelas yang paling sering dipelajari ketimbang vertebrata lain. Selain karena mudah dilihat dan ada di mana-mana, burung mudah dikenali karena nyanyiannya. Masalahnya, jumlah burung kini berkurang, seperti kecemasan Rachel Carson 40 tahun lalu dalam Silent Spring.
Burung memiliki peran penting bagi ekosistem, baik sebagai penyebar benih maupun pengendali hama. Berkurangnya populasi atau bahkan adanya kepunahan spesies burung merupakan peringatan dini akan adanya bencana ekologis yang mengintai planet ini.
Kajian “Status Burung-Burung Dunia” yang diterbitkan dalam jurnal Annual Review of Environment and Resources menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan status konservasi sebagian besar populasi spesies burung.
Kajian itu menemukan bahwa 48% spesies burung diketahui atau diduga berkurang jumlahnya. Sementara itu 39% spesies burung trennya datar, 6% naik dan 7% tren spesies burung tidak diketahui.
Sebagian besar data jangka panjang dalam kajian itu berasal dari Eropa, Amerika Utara, India dan beberapa lokasi di Afrika. Tetapi pemantauan di Amerika Latin dan Asia menunjukkan hasil serupa. Populasi burung di Amerika Serikat dan Kanada turun 3 miliar sejak 1970. Sebanyak 600 juta burung menghilang dari Eropa sejak 1980.
Kajian tersebut mencatat data burung dengan jangkauan luas, dari petrel Antartika (Thalassoica antarctica) yang bersarang 200 kilometer di pedalaman Antartika hingga petrel badai Hornby (Oceanodroma hornbyi) yang ditemukan bersarang di gurun Atacama.
Hering Rüppell (Gyps rueppelli) dilaporkan terbang di ketinggian 11.300 meter, sementara penguin kaisar (Aptenodytes forsteri) bisa menyelam lebih dari 500 meter di bawah permukaan laut.
Aktivitas manusia berdampak pada burung. Kajian itu memperkirakan 2,7 juta burung mati setiap tahun karena pestisida. Kucing domestik menjadi spesies invasif yang mampu membunuh 2,4 miliar burung dalam setahun di Amerika Serikat.
Keluarga burung yang paling terancam adalah burung yang butuh waktu lebih lama untuk berkembang biak, termasuk beo, elang laut, bangau, dan burung besar seperti kalkun sikat Australia.
Kajian tersebut juga mengungkap bahwa semua negara memiliki satu spesies burung yang terancam punah. Sebanyak 10 negara memiliki lebih dari 75 spesies burung yang terancam punah. Spesies yang terancam punah terkonsentrasi di daerah tropis, yang sesungguhnya memiliki keanekaragaman burung terkaya.
Indonesia yang berada di kawasan tropis memiliki burung yang memiliki risiko kepunahan tertinggi di dunia. Berdasarkan penelitian Burung Indonesia, lembaga kajian, sebanyak 179 spesies burung terancam punah.
Kajian “Status Burung-Burung di Dunia” itu juga mengungkap bahwa negara-negara kepulauan mengalami gelombang kepunahan burung. Ini terjadi bukan hanya saat ini tapi ini merupakan tren yang telah terjadi sejak lebih dari 500 tahun lalu.
Ketika pulau Santa Helena ditemukan pada 1502, sebanyak enam spesies termasuk di antaranya burung Saint Helena Hoopoe (Upupa antaios) punah dalam 250 tahun.
Kini gelombang kepunahan bergeser pada spesies yang didistribusikan secara kontinental. Burung Alagoas pemungut dedaunan (Philydor novaesi) kini kritis (Critically endangered) akibat hilangnya habitat dan fragmentasi. Tujuh spesies burung di Brazil juga punah sejak 1950.
Spesies lahan pertanian menurun drastis, kata tinjauan tersebut, turun 57% di Eropa sejak 1980. Hal ini disebabkan pertanian intensif yang memasok makanan murah.
Ancaman paling signifikan terhadap keanekaragaman hayati burung adalah hilangnya habitat, fragmentasi, dan degradasi ditambah dengan eksploitasi berlebihan manusia dan spesies asing invasif.
Kajian yang dirilis 4 Mei 2022 ini tidak semuanya berisi fakta-fakta suram. Ada juga secercah harapan. Seperti Warbler Kirtland (Setophaga kirtlandii) yang populasi dunianya hanya 200 ekor, kini tumbuh menjadi 2.300 pasang pada 2019. Pertumbuhan ini dilakukan setelah adanya kontrol pada parasit, manajemen hutan yang luas dan perlindungan musim dingin pada habitatnya d Bahama.
Lalu ada Petrel Cook (Pterodroma cookii) yang populasinya naik hingga 70% usai pemberantasan predator di Pulau Little Barrier. Ada juga Amur Falcon (Falco amurensis) yang status konservasinya kini Near Threatened. Perburuan tidak berkelanjutan lebih dari 100.000 ekor dalam setahun kini berakhir melalui program penjangkauan masyarakat.
Kajian itu menyimpulkan bahwa populasi manusia yang terus bertambah merupakan pendorong utama sebagian besar ancaman terhadap jumlah burung dan keanekaragamannya. Kurangnya kemajuan dalam melestarikan burung biasanya mencerminkan kurangnya sumber daya atau kemauan politik.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :