Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Mei 2022

Dampak Kebijakan KHDPK di Areal Perhutani

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil alih 1,1 juta hektare areal yang dikelola Perhutani menjadi Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Apa itu?

Petani kopi Sunda Hejo yang memanfaatkan lahan Perhutani di Garut, Jawa Barat (Foto: Rifky Fauzan/FD)

MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan keputusan SK Nomor 287/2022 pada 5 April 2022 tentang kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). SK ini mengambil alih areal hutan di Jawa yang selama ini dikelola oleh Perum Perhutani. Luas KHDPK 1.103.941 hektare. Sehingga luas areal Perhutani setelah penarikan ini tinggal 1.329.083 hektare.

Kebijakan KHDPK adalah turunan Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang merupakan penjabaran dari UU Kehutanan yang direvisi oleh UU Cipta Kerja. Dalam PP 23/2021 KHDPK diatur melalui pasal 203-247.

Lokasi KHDPK adalah hutan produksi dan hutan lindung. Areal Perhutani yang menjadi KHDPK terluas ada di Jawa Timur, 502.032 hektare, lalu Jawa Barat 338.944 hektare, kemudian Jawa Tengah 202.988 hektare, dan Banten 59.978 hektare.

Menurut SK 287/2022, KHDPK untuk perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Apa beda penggunaan dan pemanfaatan hutan? Silakan baca di sini. Dalam PP 23/2021, KHDPK adalah bentuk penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan.

Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto, kebijakan KHDPK sekaligus memperbaiki model bisnis Perhutani. Selama ini BUMN kehutanan ini merugi karena anggarannya terbebani oleh penyelesaian konflik sosial di lahan-lahan mereka.

Dengan KHDPK, konflik sosial dan tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan itu diambil alih pemerintah pusat. “Sehingga Perhutani bisa fokus mengurus bisnis mereka,” kata Bambang kepada Forest Digest, 10 Mei 2022.

Menurut Hariadi Kartodihardjo, guru besar Fakultas Kehutanan IPB, produktivitas lahan Perhutani cukup rendah. Dengan luas hutan sekitar 2,4 juta hektare, nilai asetnya hanya Rp 17,3 triliun, dengan sekitar Rp 12 triliun nilai tegakan hutan. Bandingkan dengan perkebunan milik negara yang luasnya hanya 1 juta hektare, nilai asetnya Rp 143 triliun. 

Bambang Supriyanto memerinci tujuan KHDPK di Jawa:

Pertama, koreksi mendasar atas manajemen usaha Perhutani sehingga hanya berfokus pada pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan produksi kayu sebagai kegiatan utama. Kerugian Perhutani karena manajemen yang buruk bisa diperbaiki dengan penciutan kawasan hutan yang dikelolanya.

Kedua, redistribusi penguasaan tanah dan kawasan hutan kepada pihak yang membutuhkan. Skema perhutanan sosial dan penataan kawasan hutan memungkinkan akses dan kontrol dari masyarakat dan badan usaha pro-ekonomi rakyat menguasai dan mengelola tanah dan kawasan hutan yang sebelumnya dimonopoli Perhutani.

Ketiga, terbuka peluang baru bagi penyelesaian konflik agraria antara masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan hutan di Jawa. Mengingat karakter konflik agraria di kawasan hutan yang dikelola Perhutani selama ini mengalami jalan buntu, sekarang ini ruang bagi penyelesaian utuh menjadi terbuka melalui berbagai skema yang diatur SK Menteri LHK ini.

Keempat, peluang pengakuan hak kepemilikan masyarakat atas tanah yang sebelumnya berkonflik dengan Perhutani. Penguasaan tanah yang sudah berlangsung berpuluh tahun, tempat berproduksi dan berkembangnya budaya masyarakat bisa diselesaikan dengan penataan batas kawasan hutan. Sehingga jelas: mana yang bisa dimiliki masyarakat dan mana yang tidak.

Kelima, berkembangnya pusat-pusat produktivitas ekonomi baru di areal kawasan hutan yang selama ini tersandera karena penguasaan kawasan hutan yang monopolistik di Jawa oleh Perhutani. Berkembangnya pusat produksi pertanian pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan berbagai inovasi masyarakat dan dunia usaha pro-ekonomi rakyat menjadi terbuka luas.

Keenam, pemulihan kerusakan ekologi di kawasan hutan Jawa bisa dilakukan secara lebih terencana dan terintegrasi. Kerusakan hutan yang menyebabkan banjir dan longsor bisa dicegah dengan pelibatan sebanyak mungkin pihak untuk mengusahakan tanah dan kawasan hutan melalui KHDPK yang terintegrasi dengan fungsi pelestarian lingkungan.

Ketujuh, mewujudkan keadilan agraria di perdesaan Jawa setelah puluhan tahun mengalami ketidakadilan kronis dalam pemilikan dan penguasaan tanah dan kawasan hutan. Kebijakan KHDPK memungkinkan penataan kawasan hutan dengan menimbang kebutuhan eksisting di lapangan sehingga pengakuan atas desa-desa, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan pemukiman warga.

Pembagian Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK)

Anggota Komisi Kehutanan DPR dari Partai Gerindra, Darori Wonodipuro, mengakui KHDPK punya tujuan mulia. Namun, menurut dia, KHDPK tetap dikelola oleh Perhutani. Alasannya, karena institusi Perhutani sudah terbentuk lama. “Karena yang diambil hampir 50%, khawatir juga ada pemutusan hubungan kerja karyawan Perhutani,” katanya.

Bambang Supriyanto memastikan, tak ada dampak terhadap karyawan Perhutani dari kebijakan KHDPK. Jika pun ada dampak terhadap mereka, KLHK akan merekrut karyawan Perhutani sebagai pendamping kelompok perhutanan sosial dalam KHDPK.

Sebelum SK KHDPK ini terbit, Hariadi Kartodihardjo sudah mewanti-wanti agar tata kelola KHDPK diperbaiki terlebih dahulu. Kebijakan KHDPK, kata dia, memerlukan pemetaan sosial yang akurat, bukan hanya bersandar pada informasi di atas peta tanpa ada verifikasi lapangan secara teliti. Sebab risiko mengubah ikatan atau hubungan struktural antara regulator dengan wilayahnya bisa mengubah efisiensi pengelolaan yang berdampak bagi aspek kelestarian.

Artikel lain KHDPK:

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain