Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Mei 2022

Protein Mikrobial, Alternatif Pangan Mencegah Deforestasi

Mengganti 20% daging sapi dengan protein mikrobial bisa mengurangi deforestasi hingga separuhnya pada 2050. Emisi metana dari peternakan juga bisa diturunkan  

Quorn, salah satu pemimpin pasar untuk produk protein mikrobial (Foto: Quorn)

MIKROORGANISME bukan hanya berfungsi sebagai dekomposer organisme yang mati dalam tanah. Atau untuk menjaga kebersihan air tanah dalam batuan akuifer. Dalam bioteknologi pangan, mikroorganisme menjadi bagian utama dalam teknik pengolahan makanan dasar. Dia memfermentasi adonan untuk menghasilkan roti, susu menjadi keju dan memungkinkan pengawetan jangka panjang, yang disebut protein mikrobial.

Mikroorganisme sering pula digunakan sebagai sumber makanan langsung. Yang terbaru protein mikrobial dibuat dari ganggang, ragi atau jamur kemudian diseduh dalam bioreaktor hangat bersama dengan bakteri dan gula untuk menjadi makanan kaya protein.

Konstruksi Kayu

Protein mikrobial mulanya diciptakan untuk menggantikan protein hewani seperti tepung ikan, dan digunakan sebagai pakan ikan. Tapi kini, protein mikrobial merupakan alternatif sumber protein berkualitas tinggi yang juga dikonsumsi manusia. Saat ini, produk berbasis protein mikrobial sudah ada di pasar. Yang paling populer berbahan dasar jamur.

Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah menyebutkan bahwa protein mikrobial memenuhi persyaratan dalam penilaian asam amino esensial untuk pangan manusia. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kualitas protein mikrobial setara dengan daging sapi. Rasanya juga sama.

Protein mikrobial lebih ramah lingkungan. Sebab, budi daya protein mikrobial membutuhkan 90% tanah dan air yang lebih sedikit dan menghasilkan 80% lebih sedikit produksi gas rumah kaca. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa mengganti 20% daging sapi global dengan protein mikrobial dapat mengurangi separuh kerusakan hutan pada 2050.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature ini menggunakan model komputer yang memasukkan proyeksi faktor sosial ekonomi seperti meningkatnya permintaan daging sapi, pertumbuhan populasi dunia, peningkatan pendapatan dan pergeseran perdagangan internasional. Para peneliti menemukan substitusi protein mikrobial bisa membatalkan proyeksi kenaikan permintaan daging sapi.

Ini berarti hutan tak perlu ditebangi untuk menjadi area padang rumput baru. Substitusi 20% daging sapi bisa menurunkan separuh proyeksi kerusakan hutan pada tiga dekade mendatang. Jika substitusi mencapai 50%, pengurangan deforestasi pada 2050 bisa mencapai 82%.

Penelitian ini berfokus pada daging mikrobial karena telah diproduksi pada skala industri selama 20 tahun dan sudah tersedia di pasar. Penelitian juga menghitung lahan untuk menanam gula yang merupakan salah satu bahan baku protein mikrobial. Hasilnya, masih lebih sedikit lahan pertanian untuk gula dibandingkan dengan peternakan ruminansia.

Saat ini, 83% lahan pertanian digunakan untuk ternak dan pakan ternak. Tetapi daging dan susu yang dihasilkan hanya menyumbang 18% dari kalori yang dikonsumsi manusia. Ada pun produksi daging ruminansia, sebagian besar daging sapi, tetapi juga domba dan kambing, telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1961.

Serangkaian penelitian telah menunjukkan makan daging di negara-negara kaya harus turun drastis untuk mengalahkan krisis iklim. Peternakan merupakan salah satu penyumbang gas metana terbesar dalam atmosfer. Produksi protein mikrobial yang membutuhkan bioreaktor sebagai pemanasan juga diklaim bisa ramah lingkungan dengan menggunakan sumber listrik hijau.

Meski hasil-hasil penelitian ini tampak sangat memuaskan, protein mikrobial sebaiknya tidak dijadikan kunci mengatasi persoalan ketahanan pangan dan krisis iklim, tetapi sebagai alat untuk mereformasi seluruh sistem pangan dan pertanian. Termasuk di antaranya persoalan pengurangan limbah makanan dan penyediaan makanan sehat yang cukup, tanpa menghasilkan dampak lingkungan yang tinggi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain