Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Mei 2022

Branjangan Sumba, Pemangsa Alami Belalang Kembara

Burung Branjangan Sumbawa adalah predator alami belalang Kembara populasinya sedang meledak di Pulau Sumba. Banyak ditemukan di pasar burung.  

Branjangan Sumba (Foto: David Beadle/Ebird)

LEDAKAN populasi belalang Kembara (Locusta migratoria) kembali terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ledakan populasi mereka mengancam ketahanan pangan di pulau ini karena terjadi untuk kesekian kalinya selama beberapa tahun terakhir. Tapi sebenarnya di sabana-sabana Sumba Timur, belalang kembara ini memiliki predator alami yaitu burung Branjangan Sumba (Mirafra Javanica Pavra).

Branjangan Sumba adalah burung dengan panjang 11-13 sentimeter berwarna cokelat dengan garis abu-abu dan memiliki bintil. Branjangan Sumba kadang disebut branjangan NTB. Kini burung itu banyak ditemukan di pasar burung untuk diperjual-belikan.

Konstruksi Kayu

Burung ini biasanya bersanding dengan subspesies dari Jawa alias branjangan Jawa (Mirafra Javanica Javanica). Branjangan dikenal dengan cuitannya yang nyaring dan pintar menirukan suara mahluk lain.

Menurut Ketua Tani Center IPB, Hermanu Triwidodo, burung ini biasanya ditangkap liar dan dijual seharga Rp 5.000 di Pulau Sumba. Ketika diekspor, harganya jadi Rp 80 ribu. Di pasar burung, harganya naik lagi mulai dari Rp 200 ribu.

Branjangan Sumba sempat diburu habis-habisan pada 1998. Bersamaan dengan deforestasi, Pulau Sumba mengalami ledakan populasi belalang kembara yang berujung pada gagal panen saat itu. Dalam daftar merah IUCN, spesies Mirafra javanica berstatus least concern yang berarti populasinya di alam berisiko rendah.  

Menurut Hermanu, saat ini sudah ada Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang Konservasi Branjangan Sumba. “Perda ini melarang penembakan dan penangkapan Branjangan Sumba, dan diterapkan secara ketat. Jadi sudah tidak ada burung yang keluar Sumba sekarang,” katanya. Keberadaan burung-burung ini seharusnya akan berpengaruh menekan populasi belalang.

Ledakan populasi belalang Kembara seharusnya bisa dicegah dengan pengendalian biologi lewat predator alamiah maupun parasitoid. Saat ini, kata Hermanu, IPB Universiy sedang mengembangkan patogen berbahan bakteri untuk menginfeksi belalang kembara agar populasinya turun lebih cepat.

Selama ini, pengendalian belalang Kembara bertumpu pada penggunaan insektisida yang dilakukan oleh brigade proteksi tanaman di Kabupaten Sumba. Tetapi, personelnya hanya 15 orang dan hanya ada 2 mobil brigade. Karena itu jangkauan brigade ini hanya menyentuh daerah yang bisa diakses dan terbatas di sekitar area pertanian.

Praktis wilayah yang berpotensi sebagai sumber perkembangan populasi belalang, sabana yang berbukit-bukit dan susah diakses, tidak tersentuh. Padahal sabana yang luasnya mencapai 40% area Kabupaten Sumba Timur ini merupakan lokasi bertelurnya belalang kembara.

Meski burung Branjangan Sumba masih ada dan program mengumpulkan belalang secara mekanis dijalankan di kabupaten ini, sulit memprediksi populasi belalang ini terkendali. Sebab, ledakan populasi belalang sebenarnya merupakan dampak dari perubahan iklim.

Menurut Hermanu, ledakan populasi belalang kembar akibat La Niña, turunnya suhu permukaan laut, yang membuat wilayah panas saat kemarau menjadi lembap sehingga memicu ledakan populasi belalang yang menjadi hama bagi tanaman pertanian.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain