Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 15 Mei 2022

Perhutanan Sosial Butuh Pendamping 25.000 Orang

Rantai penting mengelola kawasan hutan berbasis masyarakat adalah pendamping perhutanan sosial. Juga market access player.

Petani madu perhutanan sosial di Parigi, KPH Moutong, Sulawesi Tengah (Foto: R. Eko Tjahjjono/FD)

PEMERINTAH sedang merancang Peraturan Presiden tentang Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Dari 12,7 juta hektare alokasi kawasan hutan untuk program ini, lahan yang terdistribusi baru 4,9 juta hektare. Dua tahun sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir, pemerintah hendak mempercepat distribusinya.

Perpres percepatan perhutanan sosial ini diharapkan bisa memenuhi target distribusi 12,7 juta hektare itu hingga 2028. Untuk menopangnya, menurut guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Didik Suharjito, pendamping kelompok usaha perhutanan sosial sangat penting menunjang percepatan ini. “Pendamping sangat penting untuk transformasi pengetahuan lokal untuk tata kelola perhutanan yang berbasis ekologi, sosial dan ekonomi,” katanya.

Didik Suharjito menjadi anggota perumus rancangan peraturan presiden yang digodok oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini. Menurut dia, rancangan Perpres Percepatan Perhutanan Sosial itu berisi tiga hal utama: distribusi akses, pendampingan, dan kualitas pengembangan usaha perhutanan sosial. “Perencanaan terpadu ini yang bisa dapat mendorong percepatan,” ujarnya pada 14 Mei 2022.

Menurut dia, indikator sukses program perhutanan sosial tidak hanya membagikan lahan kawasan hutan saja. Jika targetnya hanya distribusi akses mengelola kawasan hutan, masyarakat tidak akan berkembang sesuai tujuan perhutanan sosial. “Karena pada level tapak kegiatannya tidak begitu menguntungkan,” kata dia.

Didik memberikan contoh, jika petani hanya mengelola lahan lalu hasilnya dijual, keuntungannya sangat kecil. Karena itu, setelah pemberian akses legal, perlu ada peningkatan kualitas pengembangan usaha. Caranya mengirim pendamping kepada mereka. Sehingga transfer pengetahuan tak hanya mengelola lahan, juga mengolah dan memasarkan produk komoditasnya.

Selama ini, pendamping ditunjuk dari lembaga swadaya masyarakat, honorer kehutanan, atau staf Kesatuan Pengelola Hutan yang menjadi organ pemerintahan provinsi. PP23/2021, turunan Undang-Undang Cipta Kerja, yang memasukkan pasal tambahan tentang perhutanan sosial dalam UU Kehutanan, membolehkan profesional kehutanan sebagai pendamping.

Jika selama ini, pendamping tidak punya akses lahan, profesional kehutanan bisa menjadi anggota kelompok pengelola lahan perhutanan sosial. Jumlah pendamping saat ini sebanyak 1.510 orang untuk 8.223 kelompok usaha (KUPS).

Pengolahan hasil (off forest), kata Didik, juga harus ditingkatkan kualitasnya sehingga komoditas usaha perhutanan sosial siap masuk ke pasar. Dengan konsep seperti itu, peluang bisnis, peluang usaha, dan lapangan pekerjaan akan lebih banyak terbuka melalui program ini. “Jadi yang bekerja tidak hanya petani yang olah tanah, tetapi juga tenaga kerja lain,” kata Didik.

Syarat mendapatkan akses perhutanan sosial adalah membentuk kelompok. Penyerap komoditas yang dikelolanya bisa melalui koperasi. Penguatan tata kelola koperasi penting agar petani bisa mengolah dan memasarkan produk perhutanan sosial. Penyerap komoditas bisa off taker, yaitu industri hilir yang menyerap komoditas itu. “Semua itu perlu pendampingan,”  kata Didik.

Para pendamping diperlukan dari tingkat pengolahan lahan hingga pemasaran produk. Pendampingan ini bisa juga bisa berbentuk beragam kerja sama antar pihak.

Sayangnya saat ini kerjasama antar pihak terutama kementerian masih sektoral sehingga banyak keterbatasan dalam pemberdayaan masyarakat ini. Pemerintah daerah menjadi penting turut berkontribusi dalam pengelolaan perhutanan sosial ini. 

Menurut Didik, pemerintah daerah bisa memberikan pendamping dan mengalokasikan anggaran daerahnya untuk kemajuan masyarakat lewat perhutanan sosial. “Dengan adanya kerja sama antara pihak dari kementerian dan daerah, perhutanan sosial akan keberlanjutan,” kata Didik.

Selain pendamping dan off taker, ada satu rantai lagi yang belum jadi umum dalam usaha perhutanan sosial, yakni market access player. Mereka bukan pendamping, tapi jembatan antara kelompok usaha perhutanan sosial dengan pasar. Dari pengalaman lapangan, komoditas hutan rakyat atau usaha perhutanan sosial lebih efektif mencapai pasar dengan adanya market access player ini.

Karena bukan pendamping perhutanan sosial, pelakunya adalah unit usaha yang menyerap komoditas usaha mengelola hutan. Liputan khusus tentang pentingnya market access player bisa anda baca di sini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain