SECARA kebijakan, perhutanan sosial sudah berjalan 15 tahun, jika merujuk pada regulasi awal pada 2007 tentang hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan tanaman rakyat (HTR), meski praktiknya sudah ada jauh sebelum itu. Bahkan jauh sebelum Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta mengusung tema "forest for people" pada 1978.
Pemerintahan Joko Widodo menjadikan perhutanan sosial sebagai program utama dalam Nawacita. Ia menetapkan hutan negara yang dialokasikan untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang harus dicapai dalam lima tahun. Namun, sejak 2015, capaian distribusi akses program ini baru 4,9 juta hektare melalui lima skema: hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan konservasi.
Rupanya tak mudah mengimplementasikan perhutanan sosial. Sejak 2014 hingga 2017, distribusi lahan hanya 604.373 hektare, beringsut sekitar 300.000 hektare dari distribusi pada periode 2007-2014.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gabungan antara Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, kini merancang Peraturan Presiden untuk mempercepat realisasi distribusi akses mengelola hutan negara bagi masyarakat di sekitarnya. Perpres tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial dua pekan lalu.
Didik Suharjito, guru besar Fakultas Kehutanan IPB, ikut dalam menggodok rancangan Perpres ini. Menurut dia, sisa alokasi 7,8 juta hektare lahan yang belum terbagikan akan digenjot hingga 2028. Artinya, setiap tahun pemerintah harus membagikan izin perhutanan sosial seluas 1,3 juta hektare. "Sebetulnya tidak signifikan," katanya. "Tapi lumayan karena pada 2015-2022 hanya 800 ribu hektare per tahun."
Didik berharap setelah pemerintahan Jokowi yang berakhir 2024, target distribusi akses perhutanan sosial tetap dilanjutkan. Dengan Perpres yang menjadi mandat dari Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, turunan dari UU Cipta Kerja, Didik berharap pranata perhutanan sosial lebih kokoh.
Kunci sukses mencapai target distribusi akses perhutanan sosial, menurut Didik, adalah kontribusi para pihak. "Gagasan kontribusi sudah lama ada, tapi mereka sulit bergerak menguatkan program," katanya. Dengan penyebutan secara eksplisit perhutanan sosial dalam UU Cipta Kerja, kata dia, semestinya kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil bisa berkolaborasi menguatkannya.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan Perpres Percepatan Perhutanan Sosial akan mengatasi masalah regulasi tentang keterlibatan pemerintah provinsi dan kabupaten. Dengan aturan ini, kata dia, pemerintah kabupaten bisa membentuk kelembagaan kelompok tani hutan. Sementara, pemerintah provinsi bisa membantu memfasilitasinya melalui kesatuan pengelolaan hutan (KPH). “Sehingga setiap tahun akan tercapai tambahan distribusi akses 1 juta hektare,” kata Bambang.
Didik mengatakan sebetulnya yang terpenting dari program perhutanan sosial itu bukan percepatan, melainkan pencapaian. Pencapaian itu meliputi luas kawasan hutan yang menjadi perhutanan sosial, legalitas, maupun kesuksesan bisnis perhutanan sosial. Tiga hal ini, kata dia, akan menjadi pilar perhutanan sosial berkelanjutan.
Untuk menopangnya perlu ada pendampingan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil dan profesional kehutanan terhadap kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Selain itu mesti ada market access player, atau rantai pasok di tengah yang membawa komoditas perhutanan sosial ke pasar. Saat ini, baru ada off taker atau lembaga bisnis yang menyerap komoditas perhutanan sosial. Namun, keberadaan terseok karena kesiapan KUPS memasok komoditas yang sesuai kebutuhan industri.
Dari pengalaman kelompok tani hutan di hutan rakyat maupun praktik perhutanan sosial di Jawa, keberadaan market access player cukup signifikan mendorong kelembagaan kelompok tani hutan dan menjamin serapan produk hutan petani.
Baca:
- Tonggak Baru Perhutanan Sosial di Jawa
- Market Access Player dalam Rantai Perhutanan Sosial
- Perhutanan Sosial Setelah UU Cipta Kerja
___
Beberapa data di artikel ini diperbaiki pada 18 Mei 2022 pukul 23.51 WIB.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :