Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 16 Mei 2022

KHDPK: Kebijakan untuk Reformasi Perhutani

Benarkah kebijakan KHDPK untuk mereformasi Perhutani? Ada beberapa syarat agar keinginan itu sesuai dengan tujuan.

Wanatani, memadukan pohon hutan dan pertanian (Foto: Dok. PSKL)

PEMBICARAAN mengenai kebijakan perubahan pengelolaan hutan di Jawa, dengan menciutkan wilayah kerja Perum Perhutani menjadi tinggal 1,3 juta hektare melalui pendirian Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) akhir-akhir ini, berputar di sekitar dampak dan akibat yang akan terjadi. Sedikit atau kita tidak cukup memberikan perhatian kepada kapasitas kebijakan itu sendiri.

Penciutan wilayah kerja Perhutani tertuang dalam pasal 112 dan 113 Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 mengenai penyelenggaraan kehutanan dan kebijakan turunannya, yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 287/2022 tentang penetapan KHDPK pada sebagian hutan negara yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

Konstruksi Kayu

Kelak akan muncul berbagai bentuk kebijakan lanjutan untuk menopang tujuan kebijakan KHDPK secara keseluruhan, termasuk pembaruan peraturan pemerintah yang menetapkan penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh badan usaha miliki negara bidang kehutanan, sesuai mandat pasal 125 PP 23/2021.

Wua, dkk, dalam “Policy Capacity: A conceptual framework for understanding policy competences and capabilities”, pada 2015, menulis bahwa para ahli mendefinisikan “kapasitas kebijakan” sebagai kemampuan pemerintah membuat pilihan cerdas, memindai lingkungan, dan menetapkan arah strategis, mempertimbangkan dan menilai implikasi dari alternatif kebijakan, serta memanfaatkan pengetahuan secara tepat dalam pembuatan kebijakan.

Ada juga yang memusatkan perhatian pada tata kelola di tingkat meta. Misalnya, mendefinisikan kapasitas kebijakan sebagai fungsi “menenun”, yaitu kemampuan menggabungkan berbagai organisasi dan kepentingan untuk membentuk struktur kebijakan yang koheren guna mencapai tujuan. Ada pula ahli yang menekankan prasyarat sistemik dan struktural dari tata kelola yang baik, seperti kejujuran, supremasi hukum, penunjukan yang pantas, kepercayaan sosial dan legitimasi, sebagai komponen kunci dari kapasitas kebijakan itu.

Dari pengertian mengenai kapasitas kebijakan itu setidaknya perlu diperhatikan dua hal. Pertama, kebijakan tidak berjalan sepanjang garis lurus seperti arahan atas pandangan hukum positif. Bila perintah kebijakan A hasilnya belum tentu A. Sebab, implementasi kebijakan memerlukan prasyarat, misalnya, bebas dari korupsi. Dan biasanya kebijakan gagal akibat prasyaratnya tidak terpenuhi.

Kedua, kebutuhan atas prasyarat tergantung pada kondisi di lapangan. Oleh karena itu kondisi di lapangan harus diketahui dan menjadi pertimbangan pembuat kebijakan. Dalam hal kebijakan untuk Perhutani, pemerintah perlu tahu segala penyebab persoalan perusahaan negara ini, akibat kebijakan Perhutani sendiri. Di sisi lain, ada kebijakan pemerintah yang menyebabkan Perhutani tidak bisa menjalankan inovasi guna memecahkan masalah yang dihadapinya. 

Kompleksitas persoalan di lapangan, karena itu, perlu diurai dengan baik berdasarkan multiperspektif. Misalnya, areal Perhutani yang tidak pulih menjadi hutan kembali, mestinya tak sekadar dipandang secara sederhana sebagai kegagalan reboisasi. Kegagalan reboisasi bisa juga karena problem sosial bahkan politik atau terjadinya kontestasi kekuasaan di baliknya. Itu yang tercatat oleh kajian Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Dalam praktik di hampir semua negara, dari catatan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2020 “Reforms, Opportunities, and Challengnges for State-Owned Erterprises”, ada adopsi pendekatan berbeda untuk mereformasi BUMN. Sebab beberapa faktor menjadi penentu, seperti preferensi politik, kondisi ekonomi, kapasitas kelembagaan maupun interaksinya dengan badan-badan pembangunan internasional.

Edimon Ginting dan Kaukab Naqvi, penulis laporan ADB itu, mencatat ilustrasi dari berbagai pilihan yang diambil dari pengalaman beberapa negara. Berikut ini mungkin yang paling relevan untuk Perhutani guna mewujudkan peningkatan efisiensi, konsisten dengan tujuan pembangunan nasional serta pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.

Pertama, batasan anggaran. Opsi ini merupakan prasyarat penting untuk reformasi BUMN yang harus mengelola operasinya dalam parameter keuangan yang ditentukan. Proses transisi dan risiko yang berakibat pada kenaikan pembiayaan dan/atau penurunan pendapatan harus menjadi pertimbangan utama.

Kedua, transparansi. Operasi BUMN sering kali tidak transparan. Misalnya, subsidi langsung yang diterima acap tidak dilaporkan dan subsidi tidak langsung tidak dihitung biayanya. Dalam praktiknya, ketiadaan akuntabilitas publik membuat reformasi terhambat dalam BUMN itu sendiri.

Ketiga, pengelolaan aset BUMN. Pengelolaan aset BUMN yang profesional dan lebih baik akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta menghasilkan keuntungan finansial dan sosial yang lebih tinggi. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa pengelolaan aset bisa membantu menjaga stabilitas makronya. Gejolak krisis keuangan semakin menggarisbawahi pentingnya pengelolaan aset BUMN secara efektif.

Keempat, pentingnya kebijakan kompetisi. Kinerja BUMN perlu dibandingkan dengan sektor swasta serupa, dengan memperhitungkan subsidi dan kewajiban melayani publik. Pada intinya, tidak ada alasan BUMN tidak lebih efisien daripada perusahaan swasta sejenis. 

Kelima, privatisasi. Privatisasi merupakan salah satu opsi reformasi BUMN yang memungkinkan. Namun, itu harus dianggap sebagai langkah terakhir, setelah semua reformasi awal diselesaikan. Ini termasuk menetapkan peraturan/persaingan yang sesuai dengan kerangka kerja maupun pelaporan keuangan yang akurat dan transparan.

Tetapi bila privatisasi ingin tetap dilakukan, proses divestasi sangat penting untuk ditangani secara terbuka, kompetitif, dan non-politik, hingga dapat memaksimalkan pengembalian aset kepada negara. Ada kasus-kasus di mana BUMN dijual dengan harga yang sangat murah kepada mereka yang memiliki koneksi politik, yang di Cina disebut “privatisasi orang dalam”. Untuk kasus seperti ini, lebih baik privatisasi tidak dilanjutkan. 

Dari laporan yang lain oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2017, “State-Owned Erterprises and Corruption: What are the risks and what can be done?” disebutkan bahwa reformasi BUMN semestinya juga sekaligus mencegah korupsi. Hal ini menjadi bagian penting dari kapasitas kebijakan yang disebut X. Wua, dkk, itu.

Laporan OECD ini menyatakan bawah korupsi di BUMN adalah isu yang paling sering dilaporkan oleh 69% karyawan non-manajemen dan oleh 42% manajer tingkat menengah. Adapun manajer eksekutif, yang bertanggung jawab atas pengawasan, melaporkan lebih sedikit korupsi (16%).

Hambatan terbesar integritas BUMN terkait dengan hubungan perusahaan ini dengan pemerintah, termasuk persepsi kurangnya integritas di sektor publik dan politik. Pada dimensi lain, tantangan juga muncul dari kontrol dan akuntabilitas yang tidak efektif, termasuk kontrol internal atau manajemen risiko yang tidak efektif maupun budaya perusahaan, termasuk kurangnya kesadaran akan perlunya integritas.

Hal lain risiko korupsi di BUMN umumnya karena kurang menghindari risiko atau kurang siap mengambil tindakan. Hal ini mencerminkan bahwa BUMN, yang secara hukum diwajibkan melakukan berbagai prosedur dibandingkan perusahaan swasta, justru memiliki lebih sedikit kebebasan, termasuk untuk menjauh dari hal-hal yang merugikan perusahaan.

Apa yang telah ditunjukkan oleh cakupan kebijakan melakukan transformasi BUMN menunjukkan bahwa pemerintah, bagaimanapun, akan selalu memainkan peran besar. Sejauh ini, regulasi yang cukup radikal telah tersedia. Yang perlu dicermati kemudian adalah hal-hal yang dapat menurunkan kapasitas kebijakan yang sedang berjalan.

Pada titik ini yang diperlukan yaitu pemikiran yang tidak standar, melainkan yang bisa melampaui batasan regulasi maupun administrasi. Ini pula yang tecermin dalam kebijakan KHDPK di Perhutani.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain