Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Mei 2022

Jika Bumi Dilihat dari Luar Angkasa

Nicole Stott, mantan astronot NASA, terlibat dalam misi ke luar angkasa dan melihat bumi dari sana. Ia bicara tentang pentingnya menjaga bumi.  

Nicole Stott saat bekerja di luar angkasa (Foto: NASA)

HANYA segelintir penduduk bumi yang bisa melihat planet ini dari luar angkasa. Nicole Stott, salah satunya. Nicole memulai karier di NASA pada 1988 sebagai insinyur operasional. Dua belas tahun kemudian, dia terpilih menjadi astronot. Selama 104 hari ia pernah menghabiskan waktu di ruang nol gravitasi dalam dua misi: sebagai kru di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan pesawat ulang-alik.

“Sangat sulit mendeskripsikan (bumi dari atas sana). Luar biasa indah—mungkin ungkapan paling tepat,” kata Nicole dalam webinar “Back to Earth,” yang digelar Yayasan Konservasi Alam Nusantara pada 17 Mei 2022. Namun dia ingat apa yang pertama kali dipikirkannya ketika pertama kali melihat bumi dari atas sana.

Konstruksi Kayu

“Ya, ampun, kita hidup di sebuah planet. Satu-satunya batas yang penting adalah garis tipis biru itu,” katanya. Garis tipis biru yang dia maksud adalah atmosfer yang menyelubungi bumi yang memisahkannya dengan gelapnya luar angkasa.

Nicole pernah berjalan di luar angkasa (spacewalk) selama tujuh jam, menerbangkan lengan robot untuk menangkap HTV terbang bebas pertama. HTV adalah H-II Transfer Vehicle (HTV), kargo ruang angkasa yang menyuplai kebutuhan para astronot di ISS.

Setelah 27 tahun bekerja di NASA, Nicole memutuskan pensiun dan melukis. Ia adalah astronot pertama yang membawa cat air ke luar angkasa. “Saya memang bekerja di luar angkasa, tapi di atas sana, saya juga punya waktu luang,” katanya. Lukisannya di ruang hampa kini dipamerkan di Museum Smithsonian.

Belakangan, di masa pensiun, Nicole juga mengkampanyekan pentingnya menjaga bumi. Dia menerbitkan buku, “Back to Earth,” yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya tentang interkonektivitas, mencari solusi, bertahan hidup dan mengatasi krisis—sesuatu yang dia alami setiap hari di luar angkasa.

“Saya yakin masalah global apa pun yang dihadapi bumi saat ini, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, bisa diatasi. Caranya dengan mengubah pola pikir,” katanya. Anggaplah bumi sebuah stasiun luar angkasa, mesin yang menopang hidup manusia. Dengan anggapan itu, kata dia, janganlah kita bersikap seperti penumpang—tetapi seperti kru.

Ketika dalam pesawat ulang alik, 15 orang yang berasal dari negara yang berbeda, latar belakang dan budaya yang berbeda, harus bekerja sama menjalankan semua teknologi. Tanpa kerja sama yang baik, kata Nicole, semua mesin dan sistem itu tidak akan berjalan.

Hal yang sama seharusnya berlaku di manapun manusia berada. Nicole menekankan apapun yang terjadi di belahan dunia lain akan mempengaruhi kita semua. “Pada dasarnya kita berada dan berbagi satu planet. Berpikirlah global. Global is the new local,” katanya.

Astronot merupakan orang bisa melihat dan merasakan perubahan iklim. Memang dampak ini tidak selalu terlihat dari jendela ISS, kata Nicole. Tapi data-data meteorologi yang mereka kumpulkan setiap hari menunjukkan hal tersebut. Hal ini pula yang mendorongnya mengkampanyekan penanaman satu juta terumbu karang di dunia.

Laut bukan lingkungan yang baru bagi Nicole. Perempuan kelahiran 1962 ini juga seorang Aquanaut. Dalam persiapan untuk penerbangan luar angkasa, dia menjadi anggota awak dalam misi menyelam di laboratorium bawah laut Aquarius selama 18 hari —rekor dunia hingga saat ini.

“Terumbu karang itu seperti hutan hujan di dalam lautan. Ia bisa menyerap emisi karbon lebih banyak, sangat penting menjaga kehidupan yang kita hadapi saat ini,” kata Nicole. Dia juga menyebut bahwa Indonesia melakukan pemeliharaan terumbu dengan baik. “Dalam lima tahun wilayah yang rusak telah kembali,” katanya.

Nicole pensiun pada 2015. Tak lama setelah itu, miliuner global bertandang ke antariksa. Richard Bronson, pemilik Virgin Air, menjadi miliuner pertama yang mencapai luar angkasa melalui penerbangan Virgin Galactic. Berikutnya Jeff Bezos, pemilik Amazon, melalui penerbangan Blue Origin. Miliuner lainnya, seperti Elon Musk dengan Space X, memilih bekerja sama dengan NASA dalam kemitraan public-private pertama di dunia.

“Terlepas dari kontroversi yang ada, saya berharap para miliuner mendapatkan perspektif bahwa kehidupan di bumi harus menjadi lebih baik. Semoga akan ada aksi untuk memperbaiki kehidupan dan menjaga bumi,” katanya.

Bumi, kata dia, memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk menopang hidup manusia: air, udara, tanah yang subur. Berbeda dengan luar angkasa yang lingkungannya tidak menopang hidup manusia.

Dia juga mempertanyakan rencana besar yang digadang-gadang miliuner untuk membangun koloni di Mars. “Bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan yang mendukung manusia seperti di Bumi, misalnya keberadaan air,” katanya. “

Jika pindah ke Mars menjadi mungkin, kata Nicole, itu memang menjadi langkah besar. Meski ada kesempatan untuk ke sana, dia mengatakan harus ada penerbangan pulang. Sebagai astronot NASA yang pernah melihat bumi dari luar planet ini ia mengatakan bahwa “Bumi adalah satu-satunya rumah yang kita miliki.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain