Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Mei 2022

Tak Ada PHK Perhutani Akibat Kebijakan KHDPK

KHDPK membuat model bisnis Perhutani mengelola hutan Jawa berubah. Bagaimana dengan karyawan?

Tumpang sari jati (Foto: Dok. FD)

KEBIJAKAN KHDPK atau Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus tak urung membuat karyawan Perum Perhutani resah. Soalnya, kebijakan itu berupa pengambillihan 1,1 juta hektare, dari 2,4 juta hektare, areal Perhutani yang akan dijadikan perhutanan sosial di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada Rabu, 18 Mei 2022, sekitar 4.000 karyawan Perhutani berunjuk rasa ke kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jalan Gatot Subroto Jakarta. Mereka menolak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287/2022 tentang KHDPK yang memuat pengambilalihan areal Perhutani di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

Bahkan Serikat Karyawan Perhutani tak hanya khawatir karyawan akan terimbas oleh kebijakan KHDPK, mereka juga menilai keputusan itu mengancam kelestarian hutan di pulau Jawa. Saat ini Perhutani memiliki kurang lebih 16.500 karyawan, 14.000 orang ada di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), unit kerja di bawah divisi regional provinsi.  

Perhutani memastikan kebijakan KHDPK tak akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. "Keputusan itu akan mempengaruhi organisasi dan bisnis Perhutani,” kata Direktur Sumber Daya Manusia, Umum, dan Informasi Teknologi Perhutani Deni Ermansyah ketika dihubungi pada 19 Mei 2022.

Menurut Deni, kebijakan KHDPK membuat rencana-rencana kerja Perhutani dan target bisnis berubah, termasuk penempatan sumber daya manusia. “Dari sisi bisnis mungkin ada divisi-divisi yang dikecilkan jika area yang diambil adalah area produktif,” kata Deni.

Sejauh ini, kata Deni, KLHK masih melakukan pemetaan dan verifikasi terkait lokasi area hutan yang akan diambil. “Karena masih verifikasi, dampak organisasi sejauh ini belum terlihat,” katanya.

KHDPK bertujuan mengangkat problem Perhutani yang selama ini menjadi beban perusahaan negara ini, seperti konflik tenurial yang menahun dan sulit terselesaikan. Konflik agraria dengan masyarakat membuat bisnis Perhutani terganggu karena proses penyelesaiannya membutuhkan biaya besar.

Konflik tenurial hutan merupakan berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan. “Konfik tenurial ini ada yang dari zaman Belanda, yang memang tidak bisa diselesaikan Perhutani," kata Deni. "Untuk konflik seperti ini memang harus ada intervensi dari pemerintah."

Di beberapa kasus, kawasan hutan yang merupakan area Perhutani telah berubah menjadi perkampungan. Pada kasus lain kawasan hutan areal Perhutani menjadi persawahan. Selama ini, kata Deni, konflik yang bisa diselesaikan Perhutani lebih bersifak interaksi dengan masyarakat seperti penolakan masyarakat menggarap tanaman tertentu.

Dampak lain dari KHDPK, kata Deni, juga akan membuat kemitraan lebih produktif dan mengubah rantai pasokan hutan. Saat ini, dari 2,4 juta hektare area Perhutani, seluas 600 ribu hektare adalah hutan lindung. Dari 1,8 juta hektare area produksi, seluas 400 ribu hektare untuk penggunaan lain seperti sarana dan prasarana. Sehingga praktis, hanya 1,4 juta hektare yang menjadi area produktif BUMN ini.

Bisnis Perhutani saat ini masih banyak dari hasil produksi kayu seperti: jati, sengon, mahoni, dan industri pengolahan kayu. Tetapi sudah mulai diimbangi dengan hasil hutan olahan lainnya seperti getah pinus, kayu putih, agroforestri seperti tebu dan kawasan wisata.

Sebelumnya Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto menyebutkan bahwa dengan KHDP, konflik sosial dan tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan itu diambil alih pemerintah pusat. “Sehingga Perhutani bisa fokus mengurus bisnis mereka,” kata Bambang.

Terkait karyawan, Bambang Supriyanto juga memastikan tidak ada pemecatan. Bila ada dampak dari kebijakan itu, KLHK akan merekrut karyawan Perhutani sebagai pendamping kelompok perhutanan sosial dalam KHDPK.

Selama ini perhutanan sosial di Jawa, terutama di areal Perhutani, berbentuk izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) serta pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan (Kulin KK). Dengan KHDPK, dua skema itu akan berubah menjadi tiga skema perhutanan sosial: hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKm), dan hutan tanaman rakyat (HTR).

Sebelum SK KHDPK ini terbit, Hariadi Kartodihardjo sudah mewanti-wanti agar tata kelola KHDPK diperbaiki terlebih dahulu. Kebijakan KHDPK, kata dia, memerlukan pemetaan sosial yang akurat, bukan hanya bersandar pada informasi di atas peta tanpa ada verifikasi lapangan secara teliti. Sebab risiko mengubah ikatan atau hubungan struktural antara regulator dengan wilayahnya bisa mengubah efisiensi pengelolaan yang berdampak bagi aspek kelestarian.

Artikel lain KHDPK:

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain