DI tengah berita-berita berkurangnya populasi reptil, burung dan dimulainya era kepunahan massal. Penelitian yang dipublikasikan pada 17 Mei lalu seperti angin segar bagi keanekaragaman hayati.
Hasil penelitian Erlitza Germanov dkk itu menunjukkan bahwa perairan Komodo masih menjadi tempat berkumpulnya pari Manta Karang (Mobula alfredi), salah satu megafauna yang populasinya berkurang akibat penangkapan besar-besaran pada dekade 1990an.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2014 yang melarang penangkapan dan memberikan perlindungan penuh terhadap pari Manta Karang dan pari Manta Oseanik (Mobula birostris) turut berkontribusi kepada stabilnya populasi ini di perairan Indonesia.
Sebelum 2017, kedua ikan pari ini termasuk dalam genus Manta. Perubahan genus manta menjadi Mobula merupakan hasil dari penelitian yang diterbitkan di Zoological Journal of the Linnean Society, yang menyebutkan adanya perbedaan letak mulut. Letak mulut pada genus Manta ada di terminal, sementara pada genus Mobula terletak pada subterminal. Dampaknya, nama spesies kedua satwa laut raksasa ini pun berubah.
Fungsi mulut pari Mantan sebenarnya merupakan filter untuk menyaring plankton dan ikan-ikan sebelum di makan. Ciri yang membedakan kedua pari Manta ini dengan pari Manta lainnya terletak pada sepasang tanduk di cuping kepala yang berfungsi membantu memasukkan air laut yang mengandung plankton sebagai makanan.
Lima pasang insang terletak di bagian bawahnya. Insang ini memiliki penyaring yang digunakan untuk menangkap plankton. Secara umum kedua pari ini memiliki variasi warna melanistik (hitam) dan leusistik (putih).
Ikan pari Manta memiliki ciri khas yang membedakan satu individu dengan individu lainnya yaitu corak titik-titik berwarna hitam pada individu leusistik dan titik berwarna putih pada individu melanistik. Ciri khas inilah yang menjadi cara para peneliti manta di perairan Komodo untuk membedakan individu pari yang dalam data pada mantamatcher.org
Tapi sebenarnya apa beda dua spesies megafauna ini?
Menurut Sadili et. Al (2015) perbedaan yang paling mudah dikenali tentu terletak pada ukurannya. Pari Manta Oseanik atau yang lebih dikenal dengan Pari Manta Raksasa memiliki lebar tubuh yang mencapai 7-9 meter, lebih besar dari Pari Manta Karang yang ukuran maksimalnya mencapai 4-5 meter.
Perbedaan lainnya warna punggung. Pari Manta raksasa memiliki tanda warna menyerupai huruf T cukup jelas sementara pari manta Karang memiliki gradasi warna. Pada bagian mulut, Manta raksasa memiliki warna yang hitam, sementara manta karang memiliki warna mulut yang terang dan noktah di antara kedua baris insang.
Habitat kedua spesies ini di daerah terumbu karang lepas pantai, karang berbatu, dan gunung bawah laut. Mereka kerap berkumpul di area upwelling yang menjadi pusat berkumpulnya fitoplankton dan ikan-ikan kecil
Pari manta raksasa memiliki jangkauan jelajah lebih luas sehingga bisa ditemukan di hampir semua pesisir lautan tropis, subtropis hingga daerah beriklim sedang. Dia mampu bermigrasi lebih dari ribuan kilometer. Sementara pari manta karang biasanya hanya ditemukan di ekosistem pesisir tropis dan subtropis dan daya jelajahnya hanya ratusan kilometer.
Saat ini IUCN memberikan status rentan (vulnerable) bagi dua spesies ini. Sebab, populasinya berkurang drastis akibat perburuan. Padahal, pari Manta yang usianya bisa mencapai 40 tahun ini, hanya mampu bereproduksi setiap 2-5 tahun sekali dan melahirkan 1 ekor anak.
Seekor pari Manta betina hanya mampu melahirkan 5-15 ekor anak semasa hidupnya. Sehingga rentan punah jika dieksploitasi terus-menerus. Pari Manta raksasa mencapai usia dewasa pada 8-10 tahun, sementara pari manta karang pada usia 6-8 tahun.
Di Indonesia, pari manta karang bisa dijumpai di perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, timur Kalimantan, Laut Cina Selatan, Laut Banda, perairan Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bersama pari Manta Oseanik, ikan ini dikenal dengan nama pari Kerbau di Lombok, atau pari Cawang Kalung di Jawa Barat. Kadang-kadang penduduk local menyebutnya sebagai Plampangan dan Sarangah Bulan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :