Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 21 Mei 2022

WHO: Cacar Monyet Menyebar di 12 Negara

Cacar Monyet yang sempat mewabah pada 1970 kini menyebar di 12 negara non-endemik. Diduga dampak perubahan iklim.  

Gejala Cacar Monyet (Foto: WHO)

BADAN Kesehatan Dunia (WHO) sedang menyelidiki wabah cacar monyet yang menyebar di 12 negara. Virus ini endemik di sejumlah negara, tapi 12 negara yang kini terpapar wabah cacar monyet merupakan negara non-endemik.

Sejauh ini ada 92 kasus terkonfirmasi (per 21 Mei 2022). WHO menyebut kemungkinan akan ada tambahan kasus seiring meluasnya pengecekan.

Cacar monyet sebenarnya penyakit lama. Wabah ini merebak pertama kali di Republik Demokratik Kongo, Afrika, pada 1970 disebabkan oleh virus zoonosis atau virus yang ditularkan dari hewan ke manusia. Bukti infeksi cacar monyet ditemukan pada tupai, tikus Gambia dan berbagai spesies monyet.

WHO menyebutkan bahwa cacar monyet menyerupai cacar air dan berasal dari orthopoxvirus yang sama. Bahkan, cacar air dianggap lebih mudah menular dan lebih fatal dengan 30% pasien meninggal.

Wabah cacar air sudah diberantas dengan vaksinasi per tahun 1980. Sementara cacar monyet terus menerus muncul di negara-negara Afrika Tengah dan Barat. Cacar monyet memiliki dua jenis: klad Afrika Barat dan klad Hilir Kongo atau yang dikenal sebagai klad Afrika Tengah. Klad atau clade adalah kelompok taksonomi virus yang memiliki satu leluhur bersama dan semua keturunannya juga berasal dari moyang tersebut

Cacar monyet ditularkan ke manusia melalui kontak dekat dengan orang atau hewan yang terinfeksi, atau dengan bahan yang terkontaminasi virus. Penyakit ini juga bisa menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak dekat dengan lesi, cairan tubuh, tetesan pernapasan, dan bahan yang terkontaminasi seperti tempat tidur.

Gejala-gejala cacar air biasanya dimulai dengan demam, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Meski penyakit ini bisa sembuh sendiri setelah 2-4 minggu, kasus parah juga dapat terjadi.

Sejauh ini vaksin perlindungan cacar air juga memberikan perlindungan bagi cacar monyet. Antivirus untuk pengobatan cacar air juga bisa digunakan sebagai pengobatan cacar monyet.  

Berdasarkan penelitian Thomasen, Henri. et. al., (2013) menunjukkan kemunculan cacar monyet berhubungan dengan deforestasi dan krisis iklim. Penelitian yang mengambil studi kasus di Sankaru, Kongo, ini menunjukkan bahwa alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan kekeringan akibat perubahan iklim berpengaruh terhadap kemunculan cacar monyet.

Penularan terjadi karena kontak dengan hewan-hewan yang membawa virus ini ke rumah-rumah penduduk ketika temperatur meningkat.

Kebiasaan warga setempat untuk mengkonsumsi hewan-hewan liar yang habitatnya di semak-semak (bush meat) juga menaikkan kemungkinan penularan penyakit itu pada manusia. Penelitian ini juga sudah memprediksi kemunculan kembali penyakit ini di masa mendatang, jika deforestasi dan krisis iklim terus terjadi.

Sejak 2013-2022, kasus cacar monyet memang sempat muncul, tetapi tidak sebesar sekarang, ketika 12 negara (Belgia, Prancis, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Swiss) melaporkan kasus ini pada bulan Mei. Kemunculan penyakit ini diduga berhubungan dengan globalisasi. Kasus di Inggris, misalnya. Salah satu pasien yang terinfeksi cacar monyet baru pulang dari Nigeria.

Namun, yang menjadi perhatian para ahli epidemologi adalah bahwa cacar monyet yang mewabah saat ini terdeteksi pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang jelas satu sama lain. Tidak seperti virus corona yang menyebar tanpa gejala, cacar monyet biasanya tidak luput dari perhatian ketika menginfeksi seseorang. Sebab ada lesi kulit yang ditimbulkannya. Sebagian besar pasien juga tidak melakukan perjalanan ke negara endemik.

“Jika monkeypox bisa menyebar tanpa gejala, itu akan sangat mengganggu karena akan membuat virus lebih sulit dilacak,” kata Andrea McCollum, ahli epidemiologi yang memimpin tim Poxvirus CDC Amerika Serikat seperti dikutip Nature. Teka-teki lain adalah hampir semua kelompok kasus melibatkan laki-laki berusia 20-50 tahun, di mana banyak di antaranya gay dan biseksual.

Yang jelas, merebaknya cara monyet ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan alam dan lingkungan. Sebelumnya, sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa krisis iklim yang terjadi saat ini akan memicu banyak penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain